
Tak berapa lama, di tempat kami mencari seseorang itu, angin bertiup kencang. Sang pohon, terlihat gemetar. Dedaunannya meriap dengan galau. Saya tertunduk menatap tanah basah. Dan pohon itu mau tak mau sedikit meredam ketakutannya. Barangkali dia tak ingin memperlihatkan kecemasanya pada saya. Entahlah. Sang angin terlihat tak perduli. Dia terus berhembus kencang. Seperti menghembuskan hawa amarahnya pada sesuatu. Begitu...?. Sekali lagi, entahlah kawan.
"Jangan cari aku, bila suatu saat kau kehilanganku...!"
Itulah pinta seseorang yang saya cari itu, tiga belas bulan yang lalu. Sebuah ucapan yang tak saya anggap serius. Mengingat, dia sering mengeluarkan pernyataan anehnya saat sedang melayang dengan 'sentimental taste' miliknya. Hal yang sering membuat saya jengah padanya.
"Kecuali dirimu membawa sendok perak warisan ibuku, akan kucari dimanapun, hahaha...." jawab saya seenaknya.
Sungguh saya menyesali telah menyikapi pernyataannya dengan cara seperti itu. Saya benar-benar tak mengira dia serius dengan ucapannya. Tak adakah penyesalan yang tidak datang terlambat....?
Bedebah !. Bangsat !. Kampretttttt.....!!!!. Beberapa teriakan terdengar dengan lantang. Teriakan yang seolah menandingi suara deru angin. Ternyata mulut sayalah yang mengeluarkan teriakan itu. Arghhhh..., betapa melelahkan. Betapa menjengkelkannya. Saya terhempas di tanah basah yang tadi saya pandang. Sebatang pohon yang menemani saya memandangnya saya bertambah lirih. Lirih yang memucat.
Pada deru angin yang kesekian, setelah saya agak reda, sesuatu tiba pada saya. Sesuatu yang lembut dan ringan. Lembut selembut beledru. Ringan seringan kapas. Sesuatu yang tiba itu membisikkan sesuatu di telinga saya,
"Dia titip salam padamu..."
"Dia meninggalkanmu untuk sesuatu yang hampir menjadi seluruh dari kedambaan hidupnya....."
"Sekarang dia telah memliki kehidupannya sendiri....."
"Sebuah kehidupan yang dipilihnya bersama orang lain....."
"Dia memintamu untuk tabah....."
"Dan dia tau kau tabah kawan...."
Begitulah bisikan-bisikkan si sesuatu yang menghampiri telinga saya.
Saya terdiam. Lama sekali, hingga akhirnya menyadari betapa jauh perjalanan si sesuatu yang lembut dan ringan itu untuk menghampiri saya. He, entah kenapa saya tiba-tiba menjadi kehilangan kata-kata. Saya juga menjadi tenang. Tenang sekali. Ketenangan yang entah kenapa mengisi kepala saya. Barangkali karena saya telah sampai pada titik terjenuh dimana kesal saya sudah terlampiaskan dengan teriakan-teriakakan tadi. Mungkin saja. Dan saya baru menyadari, inilah arti deru yang angin yang tiba-tiba berhembus sangat kencang tadi. Dia membawa sesuatu yang lembut dan ringan itu untuk saya.
Saya memandangi sesuatu lembut dan ringan yang tiba pada saya dan tadi membisiki saya. Dia terlihat begitu lelah, tapi tetap dengan senyumnya. Saya pegang dia. Ya, dia, sehelai bunga illang. Saya letakkan dia di telapak tangan saya. Setelahnya, saya bisikkan juga sesuatu padanya,
"Katakan padanya kawan, saya tabah......"
"...tabah sampai akhir....."
"Sampai sayapun hilang ditelan bumi...."
"Tapi saya tak akan membuat orang mencari saya saat saya hilang ditelan bumi...."
"Jika saat itu tiba pada saya, maka itulah akhir hidup saya....."
"Saat itu saya memang ditelan bumi. Bumi menelan saya, saat pemakaman saya....."
"katakan padanya kawan..., bukankah saya lebih bertanggung jawab....."
"Saya lebih bertanggung-jawab untuk tidak membuat orang resah mencari saya...."
" Setidaknya saya pamit pada semesta ini dengan baik-baik, dengan kabar kematian saya....."
Begitulah isi bisikan saya pada sang ilalang. Saya belai dia. Saya cium dia dengan ciuman terlembut yang bisa saya berikan. Bukankah saya harus berterima kasih pada sesuatu yang telah memberi saya kabar. Bukankah saya harus memberi salam takzim pada sesuatu yang memberi saya kepastian akan pencarian saya pada seseorang. Tentu saja tidak ada jawaban. Sebatang pohon yang menjadi saksi terlihat diam. Dedaunannya tertunduk ke bumi. Beberapa detik setelahnya, si angin, tiba-tiba lagi, bertiup dengan kencang. Sang bunga ilalang telah hilang dari pandangan saya. Angin Selatan telah membawanya pergi. Saya yakin dia, si Bunga Ilalang, pergi untuk menghampiri seseorang yang saya cari. Dia akan menyampaikan bisikan saya.
Kisah inipun berakhir. Tepat saat saya tutup laptop butut saya. Betapa kabar tentang seorang sahabat dekat saya yang kehilangan suaminya (setelah kecelakaan mereka yang membuat sahabat saya itu tak bisa memiliki keturunan, rahim yang diangkat) telah menggerakkan saya menuliskan kisah ini. Setidaknya akan saya katakan pada sahabat saya itu, seseorang yang dicarinya boleh hilang ditelan bumi. Biarkan saja (kalau saya jadi sabahat saya, hehe, tentu saya tak akan mencarinya). Kita, mari tetap membumi. Menghuni bumi ini sambil berkarya dengan jujur dan tulus, sebelum bumi benar-benar menelan kita. Tentu saja sambil terus menghibur dan menguatkannya, sebisa saya.
Gambar diambil dari sini
Catatan :
Cerita di atas hanya rekaan (fiksi semata). Terinspirasi dari kisah sahabat sekaligus kerabat saya. He, saya sedang rajin menulis cerpen nih.
"Jangan cari aku, bila suatu saat kau kehilanganku...!"
Itulah pinta seseorang yang saya cari itu, tiga belas bulan yang lalu. Sebuah ucapan yang tak saya anggap serius. Mengingat, dia sering mengeluarkan pernyataan anehnya saat sedang melayang dengan 'sentimental taste' miliknya. Hal yang sering membuat saya jengah padanya.
"Kecuali dirimu membawa sendok perak warisan ibuku, akan kucari dimanapun, hahaha...." jawab saya seenaknya.
Sungguh saya menyesali telah menyikapi pernyataannya dengan cara seperti itu. Saya benar-benar tak mengira dia serius dengan ucapannya. Tak adakah penyesalan yang tidak datang terlambat....?
Bedebah !. Bangsat !. Kampretttttt.....!!!!. Beberapa teriakan terdengar dengan lantang. Teriakan yang seolah menandingi suara deru angin. Ternyata mulut sayalah yang mengeluarkan teriakan itu. Arghhhh..., betapa melelahkan. Betapa menjengkelkannya. Saya terhempas di tanah basah yang tadi saya pandang. Sebatang pohon yang menemani saya memandangnya saya bertambah lirih. Lirih yang memucat.
Pada deru angin yang kesekian, setelah saya agak reda, sesuatu tiba pada saya. Sesuatu yang lembut dan ringan. Lembut selembut beledru. Ringan seringan kapas. Sesuatu yang tiba itu membisikkan sesuatu di telinga saya,
"Dia titip salam padamu..."
"Dia meninggalkanmu untuk sesuatu yang hampir menjadi seluruh dari kedambaan hidupnya....."
"Sekarang dia telah memliki kehidupannya sendiri....."
"Sebuah kehidupan yang dipilihnya bersama orang lain....."
"Dia memintamu untuk tabah....."
"Dan dia tau kau tabah kawan...."
Begitulah bisikan-bisikkan si sesuatu yang menghampiri telinga saya.
Saya terdiam. Lama sekali, hingga akhirnya menyadari betapa jauh perjalanan si sesuatu yang lembut dan ringan itu untuk menghampiri saya. He, entah kenapa saya tiba-tiba menjadi kehilangan kata-kata. Saya juga menjadi tenang. Tenang sekali. Ketenangan yang entah kenapa mengisi kepala saya. Barangkali karena saya telah sampai pada titik terjenuh dimana kesal saya sudah terlampiaskan dengan teriakan-teriakakan tadi. Mungkin saja. Dan saya baru menyadari, inilah arti deru yang angin yang tiba-tiba berhembus sangat kencang tadi. Dia membawa sesuatu yang lembut dan ringan itu untuk saya.
Saya memandangi sesuatu lembut dan ringan yang tiba pada saya dan tadi membisiki saya. Dia terlihat begitu lelah, tapi tetap dengan senyumnya. Saya pegang dia. Ya, dia, sehelai bunga illang. Saya letakkan dia di telapak tangan saya. Setelahnya, saya bisikkan juga sesuatu padanya,
"Katakan padanya kawan, saya tabah......"
"...tabah sampai akhir....."
"Sampai sayapun hilang ditelan bumi...."
"Tapi saya tak akan membuat orang mencari saya saat saya hilang ditelan bumi...."
"Jika saat itu tiba pada saya, maka itulah akhir hidup saya....."
"Saat itu saya memang ditelan bumi. Bumi menelan saya, saat pemakaman saya....."
"katakan padanya kawan..., bukankah saya lebih bertanggung jawab....."
"Saya lebih bertanggung-jawab untuk tidak membuat orang resah mencari saya...."
" Setidaknya saya pamit pada semesta ini dengan baik-baik, dengan kabar kematian saya....."
Begitulah isi bisikan saya pada sang ilalang. Saya belai dia. Saya cium dia dengan ciuman terlembut yang bisa saya berikan. Bukankah saya harus berterima kasih pada sesuatu yang telah memberi saya kabar. Bukankah saya harus memberi salam takzim pada sesuatu yang memberi saya kepastian akan pencarian saya pada seseorang. Tentu saja tidak ada jawaban. Sebatang pohon yang menjadi saksi terlihat diam. Dedaunannya tertunduk ke bumi. Beberapa detik setelahnya, si angin, tiba-tiba lagi, bertiup dengan kencang. Sang bunga ilalang telah hilang dari pandangan saya. Angin Selatan telah membawanya pergi. Saya yakin dia, si Bunga Ilalang, pergi untuk menghampiri seseorang yang saya cari. Dia akan menyampaikan bisikan saya.
Kisah inipun berakhir. Tepat saat saya tutup laptop butut saya. Betapa kabar tentang seorang sahabat dekat saya yang kehilangan suaminya (setelah kecelakaan mereka yang membuat sahabat saya itu tak bisa memiliki keturunan, rahim yang diangkat) telah menggerakkan saya menuliskan kisah ini. Setidaknya akan saya katakan pada sahabat saya itu, seseorang yang dicarinya boleh hilang ditelan bumi. Biarkan saja (kalau saya jadi sabahat saya, hehe, tentu saya tak akan mencarinya). Kita, mari tetap membumi. Menghuni bumi ini sambil berkarya dengan jujur dan tulus, sebelum bumi benar-benar menelan kita. Tentu saja sambil terus menghibur dan menguatkannya, sebisa saya.
Gambar diambil dari sini
Catatan :
Cerita di atas hanya rekaan (fiksi semata). Terinspirasi dari kisah sahabat sekaligus kerabat saya. He, saya sedang rajin menulis cerpen nih.