
Langit biru dengan sapuan awan. Disana ada tiga helai daun yang bagi saya kadang terlihat bak tiga ekor burung, dan seutas kabel listrik. Itulah langit Tsabitha. Entah kenapa saya menyukai foto tiga helai daun dan kabel listrik di langit Tsabitha itu.
Ya, meski langit kita sama kita bisa melihat hal-hal berbeda di langit kita. Seperti saat ini, sambil menuliskan ini saya menatap langit. Karena menulis sambil menatap langit dari jendela kamar yang terkuak, saya melihat susunan genteng atap tetangga dan antene tv di langit. Kau, mungkin berbeda pula yang kau lihat.
Kembali ke langit Tsabitha, he saya jadi teringat apa yang saya suka ketika saya kecil dulu. Betapa sukanya menatap langit biru. Betapa sukanya saya menatap langit ketika burung-burung berterbangan. Apalagi memandang langit saat setelah hujan, biasanya ada pelangi yang indah. Meski langit di foto hasil jepretan Tsabitha tidak memiliki burung-burung yang berterbangan. Tidak juga berhiaskan pelangi, tetap saja saya suka.
Barulah saya sadar, saya suka nuansa yang dihadirkan tiga helai daun yang tidak sengaja terbidik oleh si kecil Tsabitha (tentu saja, namanya juga bidikan anak kecil). Sayapun suka nuansa yang dimunculkan kabel listrik semrawut yang tertangkap kamera itu. Ya, tiga helai daun yang kelihatan acuh tak acuh. Tak acuh karena harus bersaing dengan kabel listrik yang semrawut. Daun melambangkan kehidupan alamiah di muka bumi. Sedangkan kabel listrik melambangkan gencarnya pembangunan (infrastruktur) disana. Keduanya saling berlomba. Perlombaan yang bagaimanapun kita harapkan harmoni prosesnya. Semoga saja, meski kita harus berjuang keras mencapainya.
Itulah tentang tiga helai daun dan seutas kabel listrik di langit Tsabitha. Kau, bagaimana dengan langitmu disana ? Masihkah indah ? Masihkah kau suka...?
(Palembang, 29 Agustus 2010)
Ya, meski langit kita sama kita bisa melihat hal-hal berbeda di langit kita. Seperti saat ini, sambil menuliskan ini saya menatap langit. Karena menulis sambil menatap langit dari jendela kamar yang terkuak, saya melihat susunan genteng atap tetangga dan antene tv di langit. Kau, mungkin berbeda pula yang kau lihat.
Kembali ke langit Tsabitha, he saya jadi teringat apa yang saya suka ketika saya kecil dulu. Betapa sukanya menatap langit biru. Betapa sukanya saya menatap langit ketika burung-burung berterbangan. Apalagi memandang langit saat setelah hujan, biasanya ada pelangi yang indah. Meski langit di foto hasil jepretan Tsabitha tidak memiliki burung-burung yang berterbangan. Tidak juga berhiaskan pelangi, tetap saja saya suka.
Barulah saya sadar, saya suka nuansa yang dihadirkan tiga helai daun yang tidak sengaja terbidik oleh si kecil Tsabitha (tentu saja, namanya juga bidikan anak kecil). Sayapun suka nuansa yang dimunculkan kabel listrik semrawut yang tertangkap kamera itu. Ya, tiga helai daun yang kelihatan acuh tak acuh. Tak acuh karena harus bersaing dengan kabel listrik yang semrawut. Daun melambangkan kehidupan alamiah di muka bumi. Sedangkan kabel listrik melambangkan gencarnya pembangunan (infrastruktur) disana. Keduanya saling berlomba. Perlombaan yang bagaimanapun kita harapkan harmoni prosesnya. Semoga saja, meski kita harus berjuang keras mencapainya.
Itulah tentang tiga helai daun dan seutas kabel listrik di langit Tsabitha. Kau, bagaimana dengan langitmu disana ? Masihkah indah ? Masihkah kau suka...?
(Palembang, 29 Agustus 2010)