3 Hari Jadi Wong Deso

Sejatinya saya memang wong deso. Deso alias desa itu miliki tarikan yang kuat buat saya. Ia seperti melambai-lambai meningatkan saya kepada akar. Dan tak seoranpun bisa melepas ikatan akar dimana jejak kita pertama tumbuh.

Maka pada hari libur kemaren, saya bersama tim turun ke desa-desa di sebagian wilayah sumsel ini. Sungguh 3 hari jadi wong deso ini sulit disusun dalam kata-kata. Hal yang jelas terasa buat saya adalah Lelah tapi senang. Kata anak-anak gaul sekarang, I'm tired but I'm happy. 

Happy sebab mendapati udara segar. Orang-orang ramah. Sungai dan rawa seperti mengingatkan pada liburan masa kecil saya ke sunsang. Anak-anak perempuan dan laki-laki hilir mudik menjajakan ikan hasil tangkapan orang tua mereka yang disusun dalam ikatan entah lidi atau rotan. Pance-pance diduduki bocah-bocah dan sebagian nenek-nenek yang sedang mengaso. Bertemu perempuan perkasa yang sedang menyadap karet di pagi buta. Anak-anak sekolah berwajah cerah meski kulit mengkilap sebab debu dan keringat sedang bermain catur saat jam istirahat. Ah, rangkaian kegiatan yang menggugah buat saya.

Ke desa itu melelahkan dan jelas tidak elit dibanding destinasi wisata liburan top yang sedang mewabah. Hanya, buat saya desa selalu menggugah dan membuka mata bahwa banyak kekurangan mereka tapi mereka tabah dan tetap senyum sumringah. Melihat desa adalah melihat gambaran kita sendiri. Inilah sejatinya kami kalau tak bisa disebut kita dan akan bagaimana kami ke depan. 

Begitulah 3 hari jadi wong deso. Salam desa. Betapa saya tak bisa menepis kewongdesoan saya. Ah...😕

















Comments