Anakku

Hingga detik ini selalu saja ingat dia. Ketika sedang hening. Saat terpekur sendiri. Sebelum tidur sedang  memandang langit-langit kamar. Sepulang kerja saat menikmati secangkir kopi yang asapnya mengenai wajah sendiri.

Dia begitu melekat. Tak bisa ditepiskan meski sudah sangat lama. Saat sepasang suami istri baru merasakan tahun pertama pernikahan. Usianya hanya 2 minggu. Ya, 2 minggu dalam rahim. Maka pada suatu sore yang lupa hari apa, ia meninggalkan hangatnya rahim. Rontok di kamar mandi. Bentuknya masih belum jelas. Rasanya hanya berupa gumpalan kenyal. Rasanya..... ia anakku. Sepanjang hidup siklus menstruasiku hanya 28 hari. Setiap bulan jadwal haid selalu maju 2-3 hari.  Seperti itulah.

Sejak saat itu ia tak pernah berani mencoba lagi hadir ke dunia. Ketika orang-orang mengatakan bahwa semua manusia yang berhasil hadir di dunia ini adalah pemenang. Hal yang dimulai dari berhasilnya sebuah sperma membuahi sebentuk ovum. Maka dia.., dia tak berani mengambil peluang jadi pemenang. Entah karena apa. Tentu saja bukan karena iklan layanan masyarakat tentang padatnya penduduk bumi yang menyuruh manusia menjaga jumlah kelahiran. Kukira, karena ia enggan menjadi anakku. Entahlah. 

Mungkin dia takut semua harapan, cita-cita dan catatan tentang mengisi hidup akan kuberikan padanya. Bila dia perempuan maka semua obesiku tentang cara menjadi perempuan akan kukatakan padanya. Bila dia laki-laki, maka akan kujadikan dia laki-laki yang paling menghargai perempuan. Salah satunya dengan  dengan membiasakan perkerjaan domestik padanya. Sudah kurasakan betapa tidak enaknya hidup dalam cengkraman pola patriakart yang kental. Seperti itukah ? Ohhhhhh. Tidak.

"Bila dia memang anakku, tolong sampaikan padanya bahwa aku ibunya sangat merindukannya. Kelak di surga, bila surga itu ada untukku, kami akan bertemu...". 

Seseorang tertunduk. Setangkai ilalang meliuk ke kiri dan ke kanan. Angin telah menggerakannya. Angin yang menerima pesan dari seseorang tadi.  

Comments

  1. suka suka membaca tulisan seperti ini....hmmm..mantap....
    kapan ya...bisa menulis...?
    Duh....

    ReplyDelete
  2. Nggak terbayangkan rasa dukanya, mbak.. Kemenangan sperma membuahi ovum ternyata baru sebuah langkah awal. Sembilan bulan 10 hari menentukan apakah seorang manusia baru akan berhasil melihat dunia.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.