Pada Akhirnya Adalah Senyum

Seseorang tersenyum. Senyum pada angin. Senyum pada matahari. Senyum pada dunia. Sebab senyum selalu membuat lega. Senyum itu melapangkan. Maka iapun berkata, pada akhirnya adalah senyum.


Jika saja senyum itu ada, kenapakah kau tahan dia. Senyumlah. Biarkah ia merekah.  Lihatlah, meski sesuatu di kepala ingin mengatakan hal kebalikannya,  jari-jarinya malah menuliskan senyum. Kukira bukan karena ia sedang menipu diri. Tapi... senyum itu yang berubah wujud. Awalnya dia adalah "Duka", seperti "Luka"nya yang dulu. Lalu ia berubah wujud menjadi "Senyum".

Kenapakah ? Kukira karena ia bosan. Bosan mendayu-dayu dengan kata "Duka" ataupun "Luka". Bosan memenuhi kepala dengan dua hal yang menjengkelkan itu. Bukankah pada akhirnya duka adalah sebuah senyum. Coba saja. Duduklah di tempat sunyi. Matikan lampu. Tutuplah pintu. Pejamkan mata. Rasai. Rasai segala hal yang sesakkan dada. Kalau bisa, uraikanlah air mata hingga ia menganak sungai lalu habis tanpa sisa. Apakah yang kau dapat setelahnya ? Pastilah senyum. Meski samar, itu sebuah senyum.

Ya, senyum karena telah mendapat pengajaran. Senyum karena hal yang menyesakkan dada itu telah memberi hikmah. Bahwa hidup tak selamanya beraromakan mawar atau melati yang kita suka. Kadang-kadang ia  beraromakan bunga bangkai. Rupanya unik dan indah, akhirnya mengalirkan bau yang menyesakkan.

Begitulah. Jadi berhentilah meratapai luka. Duka atau luka, hanya senyum yang belum jadi. Seperti kegelapan yang disebut Gibran sebagai fajar yang belum jadi. Jika duka adalah kegelapan itu, maka senyum adalah sang fajar. Senyumlah. Senyum saja kawan.


Seseorang terpekur menatap langit hitam. Entah kenapa, jari jemarinya menuliskan tentang "Senyum". Pastilah karena ia ingin merasakan sebuah "Kelegaan". Salam.

Comments