Namanya Laura

Ya, namanya Laura. Tak jelas Laura apa. Oleh lidah kami anak-anak kecil pada masa itu, nama itu berubah menjadi Lora. Entah apa sebabnya sepanjang pagi hingga siang ini Laura mengikutiku. Tak bisa ditolak kehadirannya. Tidak oleh berita televisi yang hingar-bingar tentang kesibukan demo bbm hari ini. Tidak juga oleh kesibukan di meja yang seakan tak pernah usai. Baiklah, Laura, lima belas menit jam ishoma ini adalah milikmu.

Kulitnya putih bersih. Rambutnya hitam agak ikal yang sebetulnya sangat indah. Kalau saja giginya agak beraturan, rapi, Laura pasti sangat cantik. Hanya, pandangan matanya menyiratkan kebingungan. Kadang pula kosong. Orang-orang sekitar kami menyebut Laura "Gila". Pada hari-hari yang oleh ayahku disebut sebagai "Bulan naik", Laura memeperlihatkan keanehannya.

Ia akan  mondar-mandir di jalanan. Kadang menyelinap ke rumah siapa saja tanpa permisi. Mengajak orang berbincang-bincang tentang apa saja dengan wajahnya yang seakan siap bertumbukan dengan wajah lawan bicaranya, saking dekatnya. Kemarin pagi ia memaksaku untuk berbincang-bincang meski aku tengah bersiap hendak berangkat ke  pabrik tempatku bekerja. 

Tadi pagi, sambil membawa sepotong sapu ijuk ia memaksaku untuk berbincang-bincang lagi.  Aku sedang sibuk menyiapkan tas kerja dan mencari sehelai berkas, ajakannya tak bisa kuiyakan. Laura tak bisa bersabar. Bagi Laura kebutuhannya untuk berbincang-bincang itu tetap harus dipenuhi. Segera saja Laura menyelinap ke dalam, mengagetkan kakakku yang sedang menyeduh kopi di dapur. Laura diusir hingga ia terbirit-birit meninggalkan rumah kami. Setelah itu aku mandi hingga tiba di pabrik ini.

Maka sepanjang hari ini ingatan tentang Laura tak mau pergi. Laura. Laura. Laura. Kenapakah ia ? Entahlah. Sejak kelas 3 SMA dia begitu. Bila bulan naik dan obat-obatannya habis, Laura akan seperti itu. Keluarganya sudah kewalahan hingga kami para tetangga harus siap dengan kedatangan Laura yang sering tiba-tiba. 

Kenapakah Laura ? Kukumpulkan ingatan tentang dia sejak masa kecil kami dulu. Entahlah. Tak begitu jelas buatku. Hal yang bisa kuingat adalah Laura anak tertua dalam keluarganya. Ayahnya (almarhum) pegawai Duane. Sering dinas luar yang ketika pulang membawa begitu banyak oleh-olah berupa aneka barang. Saat kami sedang bermain-main di halaman, Laura sering disusul ibunya sambil menyodorkan secangkir susu. 

Angin di lingkungan tempat kami tinggal tentu berhembus membawa bisikan-bisikan orang tentang Laura dan keluarganya. Kata bisik-bisik itu,
"Itu karena keluarga itu kena laknat, sering menghina orang lain.."
"Terlalu banyak makan barang selundupan yang dibawa ayahnya ke rumah..."
"Wajar saja Laura begitu. Ibunya tak mengurusnya dengan baik. Sibuk mencari orang pintar saat muda.."
"Pola hidup keluarga Laura kacau. Menuhankan gengsi, sering pamer...." 

Bisikan yang mungkin ada benarnya, mungkin pula tidak. Entahlah.

Laura. Laura. Laura. Dia 2 tahun lebih tua dariku. Dia bersekolah di SD wasta yang favorit ketika kami kecil. Bagi keluarga Laura sekolah yang baik dan hebat hanya SD itu. Pikiran yang agak lain. Aneh. He, bukankah sekolah hanya memacu supaya anak-anak berkembang. Sisanya, tergantung kondisi anak itu sendiri. Pikiran tentang sekolahnya, tentang apa saja yang ia miliki sebagai paling baik dan paling hebat tertanam kuat di benak Laura tanpa ia paham maknanya.

Laura sering mengejek kami yang bersekolah di SD Negeri,

"SD 57 kuat majuh..." begitu teriaknya dulu.

Begitulah. Laura dimanjakan. Dimanjakan yang tidak pada tempatnya. Ditambah lagi, mungkin ada yang terganggu dengan syaraf-syarafnya.  Entahlah. Tapi seperti itulah Laura. Entah mengapa kata-katanya tadi pagi terngiang lagi di kepalaku,

"Soul, ingat gak kita dulu sering main sama-sama...."
"Ingat gak aku dulu kaya, punya pembantu..."

Kata-kata yang tak jelas arahnya. Melompat kesana-kemari. Entah apa lagi racauan Laura. Ah...., maafkan Laura aku tak bisa membantumu. Kecuali sesekali menemanimu berbincang-bincang jika aku ada waktu. Tentu saja mendoakanmu agar kondisimu membaik.  

Tepat lima belas menit. Mungkin lebih. Televisi di meja itu masih memberitakan hal yang sama sejak beberapa hari ini, demo kenaikan bbm. Sesungguhnya Laurapun sedang berdemo. Seperti demo bbm, demo Laura tentu karena menginginkan sesuatu pula.  Hanya, aku sulit menangkap apa maknanya. 

Astaga. Rupanya Laura memang sedang demo. Ya demo. Demo menolak kenaikan bbm. Betapa tidak, isu kenaikan bbm telah membuat kepala seisi rumah Laura meledak. Terlebih ibunya. Harga sembako mulai naik. Ibu Laura sering mengomel dan mengumpat. Laura medengar dengan mulut ternganga. Belum lagi bulan sedang naik. Harga obat-obatan naik, termasuk obat-obatan Laura. Ibu Laura makin sering mengomel dan mengumpat. Sesuatu di kepala Laura bergolak. Luarapun makin menjadi-jadi.

Tentu saja hanya fiksi di hari yang hawanya sangat romantis ini

Comments

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.