Pekat

Semula, kukira pekat itu hanya kutemui pada malam gelap gulita. Rupanya tidak. Siangpun bisa miliki pekat. Ya, pekat. Seperti siang menjelang sore dengan hawa pengap ini. Siang yang terasa pekat. Ini siang apa ? tanyanya....

Tentu saja tak ada yang menjawab. Sebab tanya itu cuma memantul di kepalanya. Tersimpan disana dan bertumbuk pada hawa pengap yang ia rasa. Entah oleh sebab apa pekat ini tiba-tiba munculkan dirinya padahal malam belum terbentuk. Sedang siang baru merangkak menuju sore yang entah bila ia tiba. Betapa lama. 

Pekat ini.... rasanya seperti merangsek sesuatu di kepalanya hingga rasa berdentam-dentam itu muncul. Kenapakah... ? Oh, rupanya, rupanya....he, sebuah pengumuman. Bahwa besok, bekerja seperti biasa. Padahal besok adalah hari libur. Hari mencuci nasional baginya. Hari menyelesaikan mengedit novelnya. Hari merawat tanaman-tanamannya. Harinya bermain sepanjang hari dengan Ica. Oh, rencana yang gagal. Maka pekat itu tiba-tiba ada. Kau pernahkah rasakan siangmu memekat...?

Begitulah celotehnya, sore kemarin. Siang ini, entah oleh sebab apa, ia kembali memekat. Sebelah tangannya menggenggam kertas. Sebelah lagi terkulai setelah melepaskan telpon genggamnya. Sebuah pesan singkat telah tiba untuknya,

"Besok ketika matahari setinggi pohon kelapa itu, kujemput Ica...."

Oh, artinya besok Ica akan bersamanya, ia bergumam. Entah kenapa, setiap kali mantan suaminya ingin membawa Icanya ia merasakan sebuah kepekatan di kepalanya. Kenapakah ? Bukankah sudah ada perjanjian bahwa setelah perpisahan itu mantan suaminya boleh sesekali membawa Ica. Sudah sepakat seperti itu. Tetap saja ia pekat. Rupanya pekat ini adalah warna pemberontakannya pada kesepakatan itu. Kapankah pekat ini usai....?

Gumamannya tersapu angin. Dan pekat itu semakin pekat...

Comments

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.