Sebuah Prolog, Kunang-Kunang di Sembilang

Tanjung Lago, April 2011

Seorang laki-laki berjalan sendiri. Langkahnya gontai. Wajahnya, jangan tanya. Seperti menyimpan pertanyaan tak berjawab. Matanya nanar. Di bahunya melekat sebuah ransel hitam. Sambil berjalan, laki-laki itu mengeluarkan telpon genggamnya. Jemarinya menekan huruf demi huruf,

"Aku mencarimu. Sudah lebih seminggu. Dimanakah kau ?

Lalu ia menekan tombol "Send"

Tak ada balasan. Setelah 3 jampun, seperti sms-sms kemarin dan kemarinya lagi, tetap tak ada balasan. Laki-laki itu terlihat risau. Tak ada pilihan lain. Ia harus melanjutkan rencananya. Terus  mencari apa yang dicarinya. Entah siapa.

Tempat ini adalah sebuah pelabuhan kecil. Tempat mangkal speddboat yang akan membawa penduduk ke sebuah tempat tujuan. Benar saja. Tak berapa lama ia melihat dermaga kecil ini. Tepat di depannya sebuah spedboat tampak telah terisi oleh beberapa penumpang. Dengan sekali lompatan laki-laki itu masuk kedalam speedboat.

Jon, begitulah biasanya orang-orang menyebut namanya. Perawakannya sedang. Wajahnya biasa. Sebagaimana wajah kebanyakan laki-laki kampung selatannya. Hanya, ia miliki dagu agak memanjang dan sorot matanya dalam. Seperti dalamnya laut.

Ia mencari Mona. Perempuan yang menurutnya ia cintai sampai mati. Sebab itulah ia berada disana. Tanjung Lago, pelabuhan kecil tempat orang-orang desa itu menuju Sembilang. Ya, Sembilang, surga mangrove Monanya. Disanalah ia akan mencari Mona.

Ia masih sangat ingat celoteh Mona pada suatu ketika tentang betapa ia ingin ke Sembilang, mencari anginnya. Sebab Sembilang bagi Mona adalah sumber kehidupannya. Sembilang, seperti selalu memanggil-mangggil namanya untuk ia ia datangi. Itu yang dikatakan Mona padanya tentang Sembilang ketika itu. Itulah alasan ia terbang ribuan kilometer dari kotanya dengn beberapa kali transit menuju tempat terpencil ini. Tak ia hiraukan lagi pekerjaanya. Semuanya demi Mona.

Mona, betapa kau tak terduga, desisnya. Dan selama mati belum tiba, tak ada yang bisa menghentikannya. Angannya untuk hidup bersama Mona tak terbendung. Oleh sebab itu, ia akan terus mencari mona. Maka speedboatpun melaju. Suara mesin speedboat terdengar seperti auman. Air berkecipak. Ombakpun muncul seketika. Laju. Lajulah angan..

Sebelum speedboat itu membawanya, sesungguhnya sudah 2 sore ia berada di pelabuhan kecil itu. Sejak kemarin sore. Lihatlah gesahnya ketika itu.

Saat itu, sore terkulai pada mendung yang menyergapnya. Sebab matahari tertutup awan kelabu. Aku menatap mendung dari balik jendela dengan sebuah kata menyembul di kepala, “Mona”. Ya, Mona. Mona tak ada. Sudah bilangan hari ke-tiga Mona menghilang. Kemanakah ia ? Tak ada jejaknya sama sekali. Mona seperti ditelan bumi. Padahal lima hari sebelumnya ia mendatangiku dengan wajah penuh binar dan tawa yang renyah.

Mona, gadis jangkung, tipis dan manis yang sudah hampir lima tahun menjadi kekasihku. Perempuan lajang yang sangat menikmati masa lajangnya hingga ia sering menolak lamaran pria yang meminangnya, termasuk aku, dulu.

“Katakan satu hal saja. Satu hal yang bisa membuat aku tergerak untuk dinikahi…” sergah Mona menyimpan senyum di matanya ketika kunyatakan maksudku untuk menikahinya
“Aku akan menjagamu…” jawabku
Mona menggeleng,
“Aku bukan boneka”, jawabnya singkat
“Aku akan selalu menyayangi dan mencintaimu” kataku lagi
Mona menggeleng lagi
“Aku akan selalu berada di sisimu, selalu…”
Mona kembali menggeleng
Aku menyerah.

Maka di hari ke-5 menghilangnya Mona ini, percakapan itu terngiang lagi di telinga. Mona, mungkin ia tau jawabanku waktu itu terlalu indah dan dibaluti kepalsuan, hiks. Mona, kau membuatku terduduk di sudut ini sambil meringis.

Mona. Kuingat  pertemuan pertamaku dengannya. Kutemukan ia sedang melintas di depan sebuah taman cafe sudut kota kami. Langkahnya ringan. Ia tidak sedang tersenyum, tapi matanya menyiratkan senyum. Senyum yang teduh lembut meski ia sulit digapai. Ia seperti mengingatkanu pada sesuatu, entah apa.

Mona. Ketika kutahu namanya, aku terpana. Sebab aku berasal dari sebuah tempat jauh di selatan, aku selalu punya greget dengan nama “Mona”. Sebab di kampungku nama ‘Mona” biasanya disandang oleh anak tertua. Saat itu kutanyakan pada Mona, ia mengangguk membenarkan. Sejak itu aku semakin suka padanya. Kerinduanku pada kampung halaman seperti terobati. Seperti kebahagiaan menemukan sekuntum bunga halaman rumah ibuku di tengah padang rumput asing.

Mona. Mona. Mona. Betapa ia sulit ditebak. Tanpa bisa diduga, di sebuah hari yang teduh sebulan yang lalu, lupa hari apa, tiba-tiba Mona menerima lamaranku. Aku serasa melayang. Kebahagiaan yang membuncahi hingga ke relung terdalamku. Kubayangkan hari pernikahan kami.

Mona. Mona. Mona. Kini aku mencarinya. Sebab sudah berkumpul sanak keluarga dari kampung selatanku. Mona tak ada. Mona tak tentu rimbanya. Kemanakah ia ? Tak ada jawaban. Tidak, yang kubutuhkan bukan jawaban tapi kehadiranya. Aku butuh Mona dengan nyata. Besok hari pernikahan kami tiba.

Hujan turun. Angin bertiup menerobos jendela. Pemetik angin, hadiah ulang tahunku dari  Mona berdenting. Sebuah pesan singkat tiba padaku. Kubanting telpon genggamku setelah membaca  isinya,
“Maafkan aku. Aku tak bisa menipu diri. Aku tak bisa mengikat diriku. Aku terikat pada anginku. Sebab aku Monada Niku. Apa kau lupa arti namaku ?…..”

Astaga. Kenapa aku bisa lupa arti namanya, Monada Niku. Argghhhhh…teriakanku tertelan angin. Seketika aku benci bunga ungu yang berasal dari kampung selatanku itu. Seketika aku membenci kampungku. Oh, ia menyuruhku duluan menikah. Ah, kenapa namanya harus “Monada Niku”…!? Taukah kau arti namanya ? Ah, ia menyuruhku menikah lebih dulu. Oh, kenapa aku lupa arti namanya. Monada Niku. Itu bahasa kampung ibuku (Komering) yang artinya "Duluanlah kau". Mona, oh...

Gesahpun tak ada maknanya lagi. Semuanya redam oleh ombak yang membawanya dari tempat itu menuju Sembilang. Sembilang tunggulah aku, desisnya tak terdengar.

Comments

  1. Alhamdulillah, fiksi mini yang saya sebar di Kompasiana rupanya bisa saya mix-match dengan naskah ini. Entah prolog ini tepat atau tidak, tak penting lagi. Hanya, rasanya saya sudah miliki alur cerita secara jelas, meski bisa saja melenceng lagi. Plot, agak flashback. Selamat Tahun Baru 2012. Pamit, tidur dulu ya..

    ReplyDelete
  2. Yah, sudah membayangkan akan happy ending...tetapi jadi begini (lho kok malah ikut larut..hahaha)
    Met tahun baru 2012 juga.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.