Sebuah Hari Yang Gagap

Hari yang gagap tiba padanya. Hari itu, ketika rasa hampa seperti menelannya sejak pagi hingga siang yang tak berupa. Maka siapakah yang bisa menahan kegagapan bila ia sudah tiba ? Kau bisa, cobalah kalau kau bisa. Aku tidak. Tapi sudahlah. tak perlu kita perdebatkan lagi. Kau duduklah yang manis di tempatmu. Mungkin sambil kau bercengkrama dengan siapa saja disana. Begitulah desisnya sambil ia  menatap langit kotanya.


Hari yang gagap itu adalah tiga hari yang lalu. Hari dimana ia tengah sibuk melaksanakan tugas bersama timnya. Tiba-tiba ia ingat dirimu. Ingatan yang membuatnya merasa terbang. Hanya tubuhnya yang ada di sana, tidak dengan hati dan jiwanya. Saat ia sedang begitu, tiba-tiba sebuah sentuhan menghampirinya. Seseorang sahabat dekatnya memperlakukannya bak seorang kekasih. Memegang tangannya, memeluknya...dan lain sebagainya. Ia merasa hampa juga hambar lalu ia merasa dirinya gagap.

"Wahai, mengapakah dirimu gagap ?" saya tanya dia pelan-pelan saat kepalanya menunduk. 
Dia tak menjawab, kepalanya masih tertunduk
"Apakah kau gagap karena kau tak siap diperlakukan begitu oleh sahabatmu...?
Dia masih tak menjawab hingga saya mulai jengah

"Tidak, aku gagap pada diriku sendiri. Gagap pada kebodohanku. Gagap karena baru menyadari bahwa perhatian seseorang rupanya mengandung maksud yang tersembunyi. Maksud yang tak bisa kumengerti..."
"Kau tau, ketika menyadari diriku membangkitkan geloranya, saat itu juga aku merasa hampa. Bukankah itu berarti aku hanya pembangkit gelora. Betapa hinanya aku. Itulah mengapa aku merasa gagap...", imbuhnya lagi. Kepalanya masih juga tertunduk

Hm, saya tak begitu paham hal yang ia maksudkan. Dan kegagapannya belum berhenti sampai disitu. Rasa gagap itu terus mendera hingga esok harinya tiba. Begitu erat. Tepat ketika ia sedang menikung di tanjakkan yang disebut oleh warga kotanya sebagai "Tanah Tinggi", rasa gagap itu kembali menyergap. Jalanan sedang padat sebab waktunya para pekerja pulang ke rumah. Tanpa bisa ia cegah,
"Brugggg, Duarrrr!..", suara sangat keras terdengar. 

Kepalanya masih tertunduk. Ia tak lagi merasakan apa-apa. Pandangannya gelap. Hm, apakah ia sudah berada di alam lain ? Entahlah. Lega juga kalau bisa begitu, desisnya. 
"Mba, mba, mbak menabrak mobil saya..." sebuah suara menyadarkannya.
Rupanya ia masih berada di dunianya yang biasa. Oh, ternyata ia telah menabrak bemper belakang mobil si cicik itu. He, sebuah masalah lain baru saja tiba.

Ah, masalah baru datang silih berganti setelah hari yang gagap itu tiba padanya. Sahabatnya yang itu tiba-tiba berubah sikap setelah ia menunjukkan kehambarannya. Kau yang ia anggap lebih dari separuh jiwanya entah dimana. Belum cukup itu, ia harus menyelesaikan masalah tabrakan dengan si cicik. Saat itu juga langit kotanya tiba-tiba mendung. Ia merasa mendung itu adalah sebuah ejekan untuk kegagapannnya. 

Oh betapa saya tak suka melihat ia gagap seperti itu. Maka saya katakan lagi sesuatu padanya. Pelan-pelan hingga suara saya nyaris tak terdengar,
"Sudahlah, tenangkan saja dirimu. Bila kau tenang, pasrah mungkin gagapmu akan segera sirna.."
Tentu saja hanya saya yang bisa mendengar suara pelan saya itu. Dia sudah memejamkan matanya. Sedang kau, entah dimana.

Comments

  1. Mampir perdana di Bulan Ramadhan. Gimana kabarnya Mbak?

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.