Lebih Dari Yang Kau Kira


Hm, hm, entah kenapa saya ingin tertawa hari ini. Bahkan sejak kemarin dan kemarinnya lagi. Padahal hari ini  adalah yang biasa. Tak ada yang istimewa. Pekerjaan di pabrik masih seperti biasa. Aman dan terkendali. Tak ada letupan. Tak ada friksi. Tak ada kejadian yang menohok urat geli hingga saya bisa tertawa. Tapi, kenapa saya ingin tertawa. Hm, hm, perasaan yang ganjil.

Entah kapan sesuatu yang ganjil ini memenuhi kepala saya ? tak jelas. Kau bisa bayangkan betapa ganjilnya rasa ingin tertawa itu ketika tak ada kejadian yang lucu, aneh bukan. Mari lihat hari saya. Pagi yang segarnya biasa. Menyelesaikan pekerjaan rutin. Setelah agak siang, menemani tamu dari pusat, lagi. Makan siang. Melihat pekerjaan pendampingan teman-teman konsultan. Kembali ke pabrik. Menyelesaikan lagi sisa pekerjaan. Agak sore bertemu Saut di twitter.  Setelah itu, tiba-tiba saja saya jadi tertawa. Tertawa lagi, dan lagi.

Kau ingin tau sebabnya ? Sungguh ?, he, masa...? Hah, baiklah. Sebentar ya, saya menyelesaikan tawa saya dulu di jendela itu. Hahahahaha. Uf, selesai. Kembali ke sebab tadi. Sebabnya adalah, akhirnya saya menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil dan naif. Naif pada rasa yang dimiliki. Rasa yang begitu besar, lebih dari yang kau kira...

Psttt, ini tentang perdebatan saya dan ilalang. Dia yang menari-nari di kepala saya. Kami berdiskusi beberapa hari ini. Diskusi yang tak jelas diskusi apa, dan karena sebab apa,

"Taukah kau, aku memuja keindahan rasa lebih dari yang kau kira. Sedangkan kau, memuja geloramu. Taukah kau, aku mendambakanmu lebih dari yang kau kira. Tapi, taukah kau, aku juga inginkan gelora itu menjadi rasa yang indah, lebih dari yang kau kira..."

"Sebab aku ilalang. Aku inginkan gelora anginku meniupku sepoi-sepoi. Hanya, lebih dari apapun, aku  menginginkannya sebagai sepoi yang miliki bentuk indahnya. Aku inginkan keindahan yang jelas. Bukan sekedar sepoi yang menggelora. Itu keinginan terbesarku. Sebab aku ilalang. Meski angin mudah menerbangkanku, harga diriku jauh lebih besar daripada nafsuku. Itu karena aku angkuh. Ya, aku, keangkuhanku besar, lebih dari yang kau kira....", katanya lagi

Maka, hahahahaha, saya tertawa terbahak-bahak. Tentu saja, sebab ia telah berkata jujur tentang keangkuhannya. Meski, sesungguhnya saya tak begitu mengerti apa yang dia bicarakan. Itulah alasan saya sering tertawa tak jelas manakala saya ingat padanya. Dan..., ilalang itu adalah sesuatu yang menari di kepala saya. Oh, dia mengira saya akan menyampaikan gesahan itu kepada anginnya. Padahal, saya cuma kepala tempat dimana ia menari. Oh, saya tertawa lagi. Tawa yang miris. Sangat miris, lebih dari yang kau kira...

Comments

  1. Aku tertawa, karena gelitik ujung-ujung ilalang yang menggelikan sekujur dinding kepalaku

    ReplyDelete
  2. Aku ikut tertawa mbak..
    hahahaha...tertawa yang sehat.. :D

    ReplyDelete
  3. @Prof dan Itik Bali, hm, menyelami tarian ilalang di kepala saya kadang lucu juga.

    Psttt, ini akan jadi bagian/penggalan naskah novel saya...

    ReplyDelete
  4. tulisannya seperti ilalang, meliuk liuk diterpa angin

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.