Layang-layang dan Ilalang

Layang-layang sedang menari-nari di langit yang mulai menghitam. Tadi, ketika saya melintas pulang. Di tempat tumbuhnya, ilalang juga sedang menari-nari tertiup angin. Musim layang-layang tiba di kota ini. Sedang ilalang, jelas tak bermusim. Ia selalu setia pada anginnya. Maka kisah inipun menari-nari di kepala saya sambil saya mendongak ke  langit memandang layang-layang dan mengingat ilalang di kepala saya.

Rasanya, akulah layang-layang. Melayang-layang ketika seutas benang yang mengikatku diterbangkan kepada angin. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Kemana saja angin menghembuskanku.
"Mundur, mundur lagi...", abangku berteriak-teriak sambil mengulurkan benangnya. Maka aku mundur. Mencari tempat tepat agar layang-layang yang kupegang bisa kuterbangkan hingga ia terbang setinggi-tingginya. Tepat ketika kedua tanganku memegang kedua sisi layang-layang lalu melepaskannya, seketika itu juga aku merasa terbang. He, itulah sensasi yang terasa ketika melepaskan layang-layangku kepada angin. Rasanya, akulah yang terbang kepada angin.

Maka mengapakah ketika dewasa, aku merasa tak lagi menjadi layang-layang tapi ilalang...? Entahlah. Kau baca saja kisah yang dihembuskan Angin Selatan tentang ilalang itu, kalau mau. Rasanya aku tak lagi terbang bebas bersama angin lalu tersangkut di sebatang pohon. Atau tergeletak di genting sebuah rumah. Atau terjepit di tiang listrik. Sebab aku ilalang. Seberapapun kuatnya angin menghembuskanku. Seberapa kuat badai menerjang. Seberapa derasnya hujan turun. Aku tetap kokoh di tempatku tumbuh. Sebab aku ilalang. Akarku mencengkeram kuat di bumi yang seperti memelukku.

Betulkan aku telah menjadi ilalang dan bukan lagi layang-layang kini...? Tak kumiliki jawabannya melainkan rasa jengah. Jengah pada diriku sendiri. Sesungguhnya, kadang-kadang aku kembali menjadi layang-layang. Malayang-layang tak tentu arah. Tak kuasa menolak hembusan angin yang membawaku.

Begitukah aku...? Apakah aku lupa bahwa aku ilalang dan bukan layang-layang ? Hehe, sudahlah. Akhir-akhir ini sengaja kubiarkan diriku menjadi layang-layang. Bukan, bukan karena aku tak kuasa menolak hembusan anginku. Tapi...., lebih karena aku ingin merasai suasana ringan saat melayang.  Rasanya seperti mengalami lagi masa menjadi bocah yang memiliki sensasi melayang saat menerbangkan layang-layang.

Itu demi sesuatu yang disebut "Merasai". Tidak sekedar menghayati tapi benar-benar merasakan rasanya. Supaya sense itu lebih terasa. Lumayan, inspirasi menulis jadi mengalir deras. Begitu banyak proyek menulis bersama teman-teman. Rasanya, lebih ekspresif saja. 

Begitulah tarian-tarian di kepala saya tentang dia. Tarian yang agak janggal buat saya. Saya katakan kepada dia yang sedang menari di kepala saya. Ïlalang, seberapapun kau ingin, rasa hanyalah rasa. Ia akan mengendap di jiwa seberapa kuat kau mengizinkannya disana. Jika kau merasa pengap, kau bisa melepaskannya. Kau bisa membuang rasamu kapan saja kau ingin. Adakah kau paham? bisik saya padanya

Ah, ia lagi-lagi tak menjawab. Hanya menghembuskan nafas panjangnya. Tiba-tiba, oh, hampir saja ia menabrak kendaraan di depannya. Di tembok SPBU tertulis ".... Premium hanya ditujukan bagi golongan tidak mampu..". Wow, kapankah itu berlaku...? desisnya.
"Aku, aku golongan tidak mampu. Bila peraturan itu berlaku nanti, aku tetap berhak membeli premium..." desisnya lagi. 

Desisan yang tak saya pahami. Ia semakin janggal buat saya. Sudahlah. Lebih baik saya si Angin Selatan ini pergi.

Comments

  1. Terkadang, "ketidakberdayaan" melawan hembus angin, memberikan kita sebuah sudut pandang tentang rasa yang berbeda.

    Meski ilalang tangguh, namun ia tak pernah sebebas layang-layang, meski tak dapat dipungkiri, ketangguhan adalah kebutuhan.

    kita butuh "ngedan" kadang-kadang, di saat yang tepat tentunya :)

    ReplyDelete
  2. Yep Prof, bisa juga begitu. Salam.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.