Sekat Tanpa Judul
Ketika sore tadi terbentuk di sebuah tempat yang entah dimana. Seseorang tengah bergumam sendiri di kamarnya. Ia sedang mengingat-ingat sesuatu. Tak jelas apa. Hanya, matanya tak lepas dari cermin di depannya. Juga sebuah foto berbingkai yang sebetulnya telah lama ia balikkan sisinya. Foto itu, seperti mengiringi gumamannya,
Tadi pagi di ruang keluarga.
Saat sedang melakukan ritual pagi, minum kopi sembari nonton tv yang bisa dinikmati agak berlama-lama karena ini hari libur, saya tiba-tiba teringat sesuatu. Ya..., hari ini ada undangan pernikahan teman sejawat kerja. Hm, agak malas sebetulnya. Tapi, karena ia teman maka saya harus datang. Tiba-tiba lagi, saya ingat kalau saya didaulat jadi penerima tamu. Oh, tidak. Maka pagi yang indah ini harus saya tinggalkan. Jika biasanya saya malas dandan (kerja atau kemana saja saya cuma mengenakan sedikit sunblock, sedikit bedak dan seulas the body shop lipstick kesayangan saya) mau tidak mau saya harus berdandan ekstra kali ini. Saya ke salon. He, demi teman, apapun dilakukan.
Di gedung resepsi teman,
Suasana meriah. Gedung megah (teman saya butuh waktu 1 tahun untuk membooking gedung itu). Pelaminan terlihat mewah. Bunga-bunga ditata dengan baik. Satu persatu tamu-tamu mulai berdatangan. Senyum, sapa, salaman, lalu mempersilahkan tamu. Tak lama sepasang pengantinpun tiba. Wajah cerah. Senyum penuh binar. Saat sepasang pengantin memasuki gedung menuju pelaminan, musik daerah khusus untuk pengiring prosesi pengantin diperdengarkan. Tanpa bisa saya cegah, saya ingat saat saya dan Bejo menjejakkan kaki pada prosesi yang sama delapan tahun yang lalu. Syahdu sebenarnya prosesi teman saya itu. Hanya, saya merasakan kosong. Entah mengapa kesyahduan prosesi itu tidak bisa saya tangkap dengan baik di jiwa saya. Bukan, bukan ini saja. Telah banyak prosesi pengantin yang saya saksikan, dan saya merasakan kehambaran yang sama. He, rupanya saya sudah banyak berubah tanpa saya sadari.
Di kamar ini,
Rasanya cukuplah sekali, dan tak ingin lagi. Pernikahan jadi menyakitkan ketika salah satu pihak tak lagi mentaati janji suci yang telah ia ikrarkan. Maka pada saat itu pernikahan hanya jadi sekat tanpa judul. Meski ia berjudul "Pernikahan", sejatinya ia tak miliki judul yang sesungguhnya. Hanya kehambaran. Siapakah yang mau hidup dalam sekat tanpa judul ?
Tepat ketika ia tiba pada kata itu, gumamannya terhenti. Siapapun yang membaca kisah ini, percayalah ini hanya fiksi.
penggambaran fiksinya terasa begitu nyata. sekat tanpa judul itu tetaplah sebuah bingkai yang akan menjadi tabir walaupun tanpa nama
ReplyDeletenice post mba,,,
ReplyDeleteterus semangat ya,,,
buat postingan baru lagii,,
hehe
Jadi miris bacanya mbak... mungkin sekarang ini banyak ya pernikahan2 yang terasa jadi hambar seperti itu.
ReplyDelete