Perempuan Yang Kakinya Menjuntai

Ia menjuntaikannya kakinya, sejak tadi. Sejauh ini, itu menandakan ia sedang berpikir. Berpikir dengan suasana santai yang ia suka. Sebelah kakinya menapak di tempat tidur, sebelah lagi ditumpukan di kaki yang menapak lalu telapak kakinya terlihat menjuntai ke udara. Ujung jemari kakinya yang menjuntai menghadap ke wajahnya, seperti berkata, "Nikmatilah waktumu..."

Beberapa jam sebelumnya,
Udara begitu panas. Kotaku bak ditaburi lahar dari letusan gunung berapi. Kendaraan masih begitu padat meski ini hari libur. Tetap saja orang-orang ingin berbegas, entah karena apa dan hendak kemana. Suara klakson selalu terdengar hampir setiap 20 menit. Untunglah, dari pemutar musik di kendaraan ini, aku mendengar suaranya. Ia sedang bernyanyi. Nyanyian dari puisi tentang hati  dan angin. Rasanya..., itu cukup mendinginkan suasana hingar bingar ini. Begitulah ia bergumam


Saya menoleh lagi padanya. Kakinya masih menjuntai. Wahai, apakah yang sedang dipikirkan perempuan yang kakinya menjuntai ini ? tanya saya tak mengerti. Tentu saja tak ada jawaban melainkan wajahnya yang menatap jemari kakinya lalu beralih memandang langit-langit kamarnya. Sayapun mendongak ke langit-langit itu, he, tak ada apa-apa. Maka saya pandang lagi wajahnya, oh, dia sedang memejamkan matanya. Pada wajah dengan mata terpejam itu, rasanya saya melihat sebuah senyum. Lalu tulang pipinya menaik membentuk pandangan seakan ia sedang memikirkan sesuatu dengan keras. Perempuan aneh.

Malam hari sebelumnya,
Tiba-tiba aku ingin mendengar suaranya lagi. ingin mendengar dia bercerita tentang banyak hal. Tentang dunianya. Tentang pekerjaannya. Tentang tradisi di kampungnya. Tentang upacara keagamaannya. Tentang apa saja. Sebuah pesan ia kirimkan, "Sedang apa ?", kira-kira seperti itu isinya. Tak lama, ponselnya berdering, si dianya menelpon. Tentu tak perlu dijabarkan isi percakapan mereka. Tak penting pula. Hanya, saya melihat wajahnya terlihat penuh binar. Selalu ditaburi senyum. Bahkan ketika percakapan telpon itu usai dan ia tertidur, saya masih melihat senyum itu mengukir wajahnya.

Oh, perempuan yang kakinya menjuntai. Di wajahmu yang sedang berbinar ini, aku melihat engkau begitu tunduk pada rasamu. Bahkan kau menapikan segala kekhawatiranmu. 
"Aku tak minta banyak bukan, hanya ingin menangkap kebahagiaanku tanpa rasa khawatir..."
"Aku tak minta banyak padaNya, kecuali minta diberi jalan terindahNya.." ia seperti menjawab apa yang saya pikirkan.

Tiba-tiba ponselnya berdering...., bukan, bukan si dianya. Entah siapa
"Ya, ada apa ?"
"Cuma ingin mendengar suaramu, kau sehat ?
"Sehat, sangat sehat. Kau ?"
"Sehat. Tiba-tiba ingat dirimu. Ingat foto kakimu yang menjuntai dulu, masih kusimpan. Tadi tidak sengaja membuka di file hp, kutemukan. Makanya jadi ingat. Masih seringkah kau menjuntaikan kakimu ...?" 
Dia tak menjawab. Dalam hati ia mengumpat-umpat, sialan masih juga dia menyimpan foto itu...

Perempuan itu mematikan ponselnya. Masih ia ingat kejadian itu, tiga atau empat tahun yang lalu. Saat itu ia dan sang suami sedang bercengkrama. Tiba-tiba, dia ingin wajahnya dibidik menggunakan kamera ponselnya. ia meminta sang suami membidik wajahnya.  Flash...., segera dibidik. Hasilnya, ia melihat bukan wajahnya yang tersenyum di foto itu tapi kakinya yang sedang menjuntai. Sang suami mengerjainya. Sontak ia begitu gusar dan marah-marah. "Maaf sayang, tiba-tiba kakimu seperti melambai-lambai minta difoto...", suaminya menjawab sambil menghindar dari kejarannya. Ah....

Perempuan itu serta merta kehilangan seleranya untuk menjuntaikan kaki. Telpon dari mantan suami tadi  membuyarkan lamunan tentang si dianya. Ia ingin menurunkan kakinya yang menjuntai. Saat ia akan menurunkan kakinya yang menjuntai itu, jemari kakinya yang melambai tadi seakan berkata, 
"Tidak usah dipikirkan masa yang sudah lalu. Pikirkanlah masa depan. Sebab esok belum tentu milikmu. Bila mengingat si dia yang jauh bisa membuatmu tersenyum, maka dekaplah senyum itu hingga ke jiwa. Agar kau bahagia...."

Sorepun tiba tanpa diminta. Bila manusia bisa berdusta, maka jemari kakinya tak pernah berdusta. Selalu memberikan pandangan yang jujur buatnya. Perempuan itu tersenyum. Kakinya tak lagi menjuntai. Dan saya...,  sayalah jemari kakinya yang menjuntai itu.

Comments

  1. Ahaiy... saya juga kepingin bisa bicara dengan kaki saya, kira2 apa ya yg akan dia katakan? Haha!

    ReplyDelete
  2. susah banget mbak buat mencari pesan tersembunyi yang mungkin tersimpan di dalam tulisan ini,, huhuhu..

    ReplyDelete
  3. Begitulah sebuah fiksi G. Ketika imajinasi mengalir, kisah apa saja bisa terangkai, begitu saja, he...

    ReplyDelete
  4. Fiksi nih yeeee

    Ngeledek Mbak Elly hahahahhaa

    ReplyDelete
  5. keren, "Tidak usah dipikirkan masa yang sudah lalu. Pikirkanlah masa depan. Sebab esok belum tentu milikmu. Bila mengingat si dia yang jauh bisa membuatmu tersenyum, maka dekaplah senyum itu hingga ke jiwa. Agar kau bahagia...."

    sayangnya senyum yang membuat bahagia itu juga harus di buang jauh jauh Bund :), sya akan segera melompat B-), terimakasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.