Lintasan Jejak Juni

Pagi juni ini melintas. Menguapkan embun hingga jejaknya menghilang. Sedang embun kehilangan jejaknya itu, tiba-tiba saja aku ingin mencari sebuah buku. Ya, buku. Buku mungil lusuh yang pernah kusimpan dulu. Hadiah ulang tahun dari seseorang. Judulnya "Taman Sang Nabi". Entah kenapa pagi ini seperti ada kekuatan yang mendorong jiwa untuk mencari buku itu. 

Nihil. Tak kutemukan buku itu. Hanya masih kuingat jelas bentuknya, sedikit lebih besar dari notesku. Padahal telah disimpan dengan baik. Tentu saja. Sebab ia diberikan dengan penuh perjuangan oleh seseorang di masa lampau. Tepat setelah ia menerima wesel kiriman orang tuanya di kampung. Mungkin ditambah perjuangan harus  menghemat beberapa bungkus rokok setelah membeli buku itu.

 Tetap tak kutemukan. Bukankah hal yang aneh, aku kehilangan sesuatu yang kusimpan dengan baik !?. Entahlah. Maka berdamai dengan situasi adalah hal yang harus dilakukan. Di kursi sudut kamarku, kubawa jiwaku mengembara ke buku itu. Masih kuingat lembar demi lembarnya....... hingga tiba di lembar yang paling kusuka,

Kau mau tau isinya, simaklah
Pabila tetes embun berkata ”tapi dalam seribu tahun aku tetap setetes embun…”, maka jawablah ia dan katakan ”Tidakkah kau tau bahwa cahaya segala warsa bersinar-sinar dalam siklusmu”

Entah kenapa aku suka, sangat suka, bagian itu. 

Rupanya pikiran yang mengembara ini tak sekedar hinggap pada buku tersebut. Ia terus mengembara pada hari-hari yang lain hingga tiba pada sebuah hari yang sangat lampau. Dua orang sahabat dekat sedang membaca sepenggal puisi Sapardi Djoko Damono,

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana 
dengan isyarat yang tak sempat diucapkan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada

Begitulah lintasan jejak Juni yang tersibak pagi ini.

Maka demi waktu yang membiarkan jejaknya melintas. demi waktu yang tengah melintas,  ternyata segalanya adalah tiada. Sebab kekuatan setetes embun yang berkilau dalam cahaya segala warsa tak cukup untuk menyatukan. Meski aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Comments

  1. Cinta yang sederhana, kadang ada bahkan juga telah sirna pada masa kekinian...
    entahlah...
    saya sangat menyenangi sajak itu...

    ReplyDelete
  2. Derap langkah sang waktu terasa begitu berat, namun aku tetap berupaya meninggalkan jejak disini.

    Gimana kabarnya Mbak? mohon maaf rasanya seabad baru bisa mampir disini.

    Taman Sang Nabi memang sangat berkesan bagi siapa saja yang membacanya. Saya cuman sempat baca E-booknya saja.

    ReplyDelete
  3. Puisi Sapardi DJoko Damono aku juga suka sekali mbak... Aku ingin bisa menulis seindah itu, tapi tak pernah bisa. :(
    BTW, setiap bulan Juni tiba... selalu saja puisi Sapardi nongol kembali ya mbak..? Tapi biasanya yang Hujan Bulan Juni...

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.