Betapa Naifnya Sesuatu Bernama "Selera"

He, judul di atas adalah hal empiris yang saya alami. Mungkin juga dirasakan oleh sebagian besar orang. Ya sesuatu yang disebut "Selera". Kenapa saya sebut "Selera" sebagai sesuatu yang naif, karena kita sering kekanak-kanakan, tidak rasional menyikapi selera kita. Begitu pula ketika kita menyikapi selera orang lain.

Pernahkan anda merasa yakin sekali bahwa apa yang anda baca, anda dengar, anda lihat itu bagus, sedang.biasa saja, atau tidak bagus, atau bahkan jelek sekali....? Mungkin pernah, tidak pernah, atau jarang, atau bahkan sering sekali. Jawabannya tergantung kondisi kita maisng-masing. Padahal, selera kita belum tentu bisa mewakili pandangan umum (selera) masyarakat. Selera tidak bisa disamaratakan. Selera orang bisa berbeda-beda. Semua sudah tahu ya.

Saya cuma ingin mengatakan bahwa kepada diri sendiri kita boleh memanjakan selera kita. Tetapi, pada saat kita berinteraksi, memberi apresiasi terhadap sesuatu di luar diri kita, katanya kita harus berhati-hati. Ini bisikan si Bunga Ilalang lho. Saya kira itu betul. Bahkan selera kita pribadi bisa berubah kan. Jadi, kenapa kita harus memaksakan diri memberi penilaian atas sesuatu di luar diri kita dengan selera kita. Kalau kita melakukannya, maka kita telah menjadi naif.

Saya sedang menulis ini sambil sedikit menahan senyum atas kekonyolan saya terhadap sesuatu yang bernama "Selera" itu. Belum lama, teman-teman kantor mengajak saya Nobar film Iron Man-2. Semula, karena saya sudah menggarisbawahi bahwa saya tidak suka film dengan genre sciene fiction, saya malas diajak menonton film itu. Entah kenapa, karena ini ajang kebersamaan saya mau juga. Dan ternyata, hehehe, saya suka film itu. Artinya bila sampai detik ini saya masih tidak suka semua jenis film Bolywood, tidak suka jenis lagu mendayu-dayu ala Pance Pondaag, Obie Mesakh, bukan tidak mungkin suatu hari nanti saya akan suka. Entahlah. Mungkin saja kan.

Pernah pada suatu hari sahabat saya Anazkia yang jebolan "Rumah Dunia" mengkritik tulisan saya maka dengan entengnya tidak saya perdulikan kritikannya. Bila dalam ilmu kimia ada reaksi maka akan ada reaksi, dalam etika tulis menulis bila ada sanggahan/kriitk maka ada hak jawab, reflek saya jawab Anazkia. Kiblat tulisan kita berbeda na. Saya tidak suka aturan dan gaya tulisan "Rumah Dunia". Saya suka gaya tulisan Ayu Utami, Budi Darma, Seno Gumira Ajidarama, termasuk gaya tulisan Naquib Mahfudz. Kamipun bediskusi lewat email (hehe, lucu ya na).

Itulah salah satu contoh, bahwa kita bisa naif menyikapi sesuatu bernama "selera". Jadi bagaimana supaya tidak terlalu naif ? Jalan keluarnya, masing-masing kita harus saling menghargai selera saja. Sebab sesuatu menyangkut selera relatif sifatnya. Mungkin itulah alasan kenapa sampai detik ini saya tidak berani mengkritik gaya tulisan orang lain, karena saya sadar bahwa selera saya tidak bisa saya paksakan untuk menilai karya orang lain. Mungkin selera saya jelek, atau bahkan aneh bagi orang lain. Paling-paling saya menghimbau agar setiap kita menulis dengan gaya dan selera kita sendiri, sesuatu yang saya sebut your own puity, your own vision, your own style. Begitulah. Mari kita renungkan bila berkenan.

Comments

  1. makasih ibu ^^
    tapi tanpa ada nya kritik gimana kita tau letak kesalahan kita??kritik untuk membangun tak ada salahnya kok bu ^^ sah sah aja memberi kritik dan penilaian ;)

    bukannya dengan ada kritikan dan saran memacu kita untuk lebih baik lagi dalam melakukan suatu hal?? *ini menurut hemat saya loh bu* ;)

    ReplyDelete
  2. im firsstt *yiaaay* heheheh
    makasih udah share ^^

    ReplyDelete
  3. Yep, kritik tetap diperlukan. Tetap saja masing-masing kta harus menyikapi seuatu bermana "selera" tadi dengan bijak ya Ran. Menurut sauya lho Ran.

    ReplyDelete
  4. yup..kata intinya : bijak ^^
    makasih ibu maw berbagii *hugz* :*

    ReplyDelete
  5. Kok, judul postingan ini baru saja diubah ya bunda?

    ReplyDelete
  6. Kadang selera itu harus dinomor duakan untuk tujuan yang lebih baik!

    ReplyDelete
  7. Kalau masalah selera menulis, kita hanya beri arahan saja, perkara diterima itu haknya, karena masing-masing penulis punya gaya tersendiri.

    ReplyDelete
  8. Setuju, seleras tidak bisa disama-ratakan dan tidak bisa juga dipaksakan. Hargailah selera orang lain, walaupun tidak harus menyetujuinya atau ikut2an suka kalau tak suka.

    ReplyDelete
  9. @Ivan, postingan yang tadi didelete karena salah posting, dikirim ke Komunitas Blogger Palembang Bicara.
    @Nuansa Pena, ya bisa seperti itu
    @Aura pelupa, Siiip. Tentu saja setiap orang boleh memberi pendapat, saran atau kritik, dan yang diberi saran, pendapat atau kirtik tentu boleh juga mmeberi hak jawab. Ini era demokrasi. Kalau arahan, wah saya tambah gak berani, bagi saya "arahan" tingkatnya malah lebih tinggi daripada sekedar kritik, hehe. Kesannya kita seperti ingin mengatur orang. Becanda ya.

    ReplyDelete
  10. @G, mantap. Seperti itulah maksudnya. Tiap orang punya pendapat dan gaya sendiri.

    ReplyDelete
  11. mantab dah Mbak...saya setuju dengan posting Mbak Eli ini....yang penting kita saling menghargai dan tidak memaksakan selera & gaya kita kepada orang lain....

    ReplyDelete
  12. ya.., selera gak baik juga kalau diikutin terus..., kita harus bisa nyeimbangin dan ngebedain mana yang pantas dan gak. setuju mbak...!!

    ReplyDelete
  13. Wah, kalau baca postingan di atas, kayaknya saya sedang baca cerita silat Kho Ping Hoo, Bunda. Hehe...

    Lama nggak berkunjung ya?

    ReplyDelete
  14. Halo mbak, pa kabar??? dah lama gak maen kesini....hehehehe...

    Iya mbak...dulu aku gak suka musik jazz, kurang ngena di kuping, tapi ternyata aku suka sama lagu2nya Michael Buble, hehehehehe.....

    ReplyDelete
  15. @Sekar Lawu, yep mba Ayik
    @Shidiq, ya berpulang pada masing-masing orang
    @Bahauddin Amyasi, oh ya, wow. Ini sekedar contoh agar sahabat saya (sengaja tidak saya sebut namanya disini) bisa melihat benang merahnya. Gitu lho sobat
    @Vamos, siiip. Kabar saya baik. Semoga vamos baik juga ya.

    ReplyDelete
  16. kadang selera bisa jadi pemicu bentrokan kalo nggak disikapi dengan bijak

    ReplyDelete
  17. Sip mbak! Kita masing2 punya selera yg beda. Dan sebagai fun fearless female (kayak slogannya majalah Cosmopolitan), beranilah keluar dgn mengusung selera kita sendiri.

    ReplyDelete
  18. seperti kata kata mutiara bersinar bagai rembulan

    ReplyDelete
  19. seperti kata kata mutiara bersinar bagai rembulan

    ReplyDelete
  20. seperti kata kata mutiara bersinar bagai rembulan

    ReplyDelete
  21. seperti kata kata mutiara bersinar bagai rembulan

    ReplyDelete
  22. @Seiri, mungkin iya kalau kita memaksakan selera kita kepada orang lain. Apa kabar sobat ?
    @Fanda, siiip. Brrani tampil beda ala kita sendiri ya Fan.
    @Ajie, hehehe, banyak amat.....

    ReplyDelete
  23. yg penting jangan pernah memaksakan selera kita dgn menjelekkan selera orang lain. termasuk selera buku yg kita baca ya, mbak? he he he..

    ReplyDelete
  24. @Mbak Fanny, siip mbak. Seperti kata G menghargai seelra orang tidak berarti harus ikut-kutan suka selera orang. Boleh saja berterus terang kalau kita tidak suka (pattern) buku yang dibaca orang tapi sukanya pattern lain untuk sekedar menjelaskan bahwa selera kita berbeda. Asal...., jangan bilang bahwa pattern dia jelek, kitalah yang bagus (kalau kasusnya seperti ini baru deh bisa disebut menjelek2kan selera orang). Karena jelek-tidak jelek-sedang-bagus,itu relatif. Mungkin saja selera kita (maksudnya saya) yang jelek, hehe.

    ReplyDelete
  25. Memang kita tak bisa memaksakan masalah "selera" ini... karena selera tiap orang memang berbeda. Mantap mbak..

    ReplyDelete
  26. Gubrag...!!! bawa2 Anazkia dan Rumah Dunia" huaaaaa.... maluuuuu :((

    ReplyDelete
  27. hehehe hidup ibu itu eehh ibu elly maksudnyah :D ahaay

    ReplyDelete
  28. @Anazkia, huahahaha. Beda pendapat biasa kan na, kita kan biasa diskusi di FB.

    ReplyDelete
  29. benar mbak Elly. Saya nulis koment mengenai selera novel krn memang ada yg jelek2in novel2 saya utk hadiah lomba. hehehe...tapi anggap aja orang yg bilang gitu belum dewasa dalam menyampaikan pendapat, sehingga terkesan blak-blakan tanpa menghargai orang lain yang seleranya berbeda.

    tks ya mbak sudah dijawab komentnya

    ReplyDelete
  30. saya suka filem iron-man 2
    saya juga suka gaya tulisan bunga ilalang
    pun saya juga suka mbak elly, ^loh, kok^
    hehe,,kelewatan itu mah,,,

    ReplyDelete
  31. @all (Reni, Anaz, Ranny,Sang Cerpenis, Trimatra, semua) terimakasih komentarnya. Benar saling menghargai selera saja. Kalau Ana sekarang sudah paham selera (aneh) saya. Tri,hahaha, gak ngaruh kok.

    ReplyDelete
  32. wualah kalau para jago nulis udah diskusi saya manut-manut aja lawon baca karya penulis besarpun nggak pernah, belajar gaya bahasa nggak tahu, terinspirasi gaya tulisan siapapun nggak, jadi nulis sederhana banget dan pasti bisa ditebak, kalau di blog ini butuh perenungan tingkat tinggi baru ngerti kadang juga saya nggak gerti mbak jujur lo, ndeso

    ReplyDelete
  33. jujur nih mbak, kritik emang sangat membangun..aku butuh itu
    selera orang tuh gmn ya kalau masuk rumah mayaku ini??

    ReplyDelete
  34. be yourself, begitu katanya. setiap orang dilahirkan unik dan memiliki DNA yang beda, gak bisa tiba-tiba DNA nya dirubah sesuai cuaca hehe ... intinya ya itu tadi, selera orang berbeda-beda. Masalah kritik, saya yakin diperlukan untuk kebaikan dan menjaga keseimbangan, meski tak harus mengubah selera menulis.
    terima kasih mbak elly, sudah berbagi

    ReplyDelete
  35. setuju ajha... kita emang ga bisa maksain selera kita ma orang lain..
    tp kalo yg namanya kritik itu kdg dibutuhin kok sis ;-)

    ReplyDelete
  36. Selera kadang seperti anak kecil. Jujur, polos, apa adanya. Sulit ditutup-tutupi jika keinginan itu ingin terpenuhi. Walaupun keinginan itu tak disukai banyak orang dan terlalu dipaksakan...selera itu tak harus seragam kan???...heheheeee...

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.