Api dimana-mana. Berkobar menyala-nyala, seakan siap menggosongkan segala. Entah kapan api itu muncul, tiba-tiba telah kobarannya telah menjadi begitu besar. Kelihatanya semuanya terlihat begitu mudah tersulut api itu. Maka api itu menjadi besar, dan makin besar.
Saya terhenyak, jelas tidak ingin luluh lantak oleh api itu. Saya menarik diri dan menatap api dari kejauhan. Inilah sikap rasional tapi pengecut yang bisa saya lakukan, telah lama itu saya lakukan. Tapi apa yang bisa saya lakukan lagi. Ketika saya membawa sedikit air sekemampuan saya dan menyiramkan ke api itu. Sungguh, pekerjaan yang agak sia-sia. Api yang sudah sangat besar itu tidak bergeming dengan air yang saya bawa. Bebeberapa kepulan api menatap saya dengan tatapan berkilat-kilat penuh amarah, siap menelan saya. Minggir....!, katanya sambil menepiskan saya. Sayapun terjerembab di sudut ini. Ya, sudut kejauhan dimana saya hanya bisa memandang kobaran tadi sebagai kepulan kecil berwarna merah.
Saya pun berpaling dari kepulan merah itu. Lama berpaling sehinga menjadi jengah saat melihat ternyata diman-mana masih ada juga kepulan merah itu. Lalu sang sahabat jiwa berkata, jangan lari, mari kita cari dimana titik apinya. Mari kita pelajari bagaimana cara memadamkan titik api tersebut. saya kembali terhenyak akan ucapan seorang sahabat jiwa saya itu. Betapa saya telah menjadi egois, menjauh dari api itu padahal begitu banyak karib kerabat telah menjadi korban api itu. Maka kamipun berusaha mencari dan mempelajari titik api itu. Sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Ternyata titik api itu berasal dari diri kita masing-masing. Jangan merasa telah piawai memadamkan api di dada hanya dengan sholat atau berdoa di gereja, atau sembahyang di pura dan kuil, bila setelahnya kita masih merasa menjadi orang/kelompok paling benar dan menganggap orang lain/kelompok lain salah tanpa ada kompromi. Itulah sumber sengketa selama ini. Itulah sumber api. Maka marilah padamkan titik api itu. Bukankah perbedaan adalah rahmah. Bila kita bisa memadamkan api di dalam diri kita, mengisi diri kita dengan air sejuk jiwa yang membasahi kalbu, sebesar apapun api menghampiri kita kita tidak akan terbakar. Bila setiap diri telah menjadi basah dan sejuk dengan jiwa damai, lalu bersatupadu, maka gelombang sejuk dan basah itu akan menjadi kuat dan cukup untuk memadamkan kobaran api.
Apakah semudah itu....? tentu tidak mudah. Memerlukan perjuangan yang panjang dan melelahkan, tapi bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Begitulah gumaman seorang anak manusia, kebetulan sabahat jiwa saya tentang kobaran api. Ia cuma seseorang yang berusaha agar dirinya dan siapa saja bisa diselamatkan, saat melihat ada kobaran api dimana-mana. Lihatlah di FB dan dimana-mana banyak yang sangat bernafsu menasehati, menceramahi orang lain dengan cara menggurui sehingga menimbulkan keusilan kelompok di seberangnya. Di sisi lain banyak pula kelompok yang mengaku atheist sibuk melecehkan dan menghina agama. Ada pula kelompok yang menamakan diri sebagai kelompok cinta kasih yang menolah agama tapi cara dan gayanya sangat jauh dari cinta kasih yang dia elu-elukan, malah , hiks, seperti preman pasar. Belum lagi masalah dengan negara tetangga kita yang telah menyulutkan api emosi kita. Jadi ajang saling hina, saling gontok-gontokan. Entahlah.
Ini renungan untuk diri sendiri, kata sahabat jiwa saya tadi. Bila ada yang berkenan, mari kita renungkan bersama. Sebelum saya tutup, saya ingin menyampaikan pesan dari sahabat jiwa saya tadi. Mari padamkan kobaran api di sekitar kita seikhlas dan semaksimal yang kita bisa. Mari kita bawa air jiwa nan basah menyejukkan dimanapun kita berada sehingga kobaran api di sekitar kita itu jadi berkurang. Syukur-syukur bila bisa padam sama sekali. Mari mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang. Selamat melanjutkan hari. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan ke8 hari ini, bagi yang menjalankan. Semoga kebarokahan menjadi milik kita semua.
Saya terhenyak, jelas tidak ingin luluh lantak oleh api itu. Saya menarik diri dan menatap api dari kejauhan. Inilah sikap rasional tapi pengecut yang bisa saya lakukan, telah lama itu saya lakukan. Tapi apa yang bisa saya lakukan lagi. Ketika saya membawa sedikit air sekemampuan saya dan menyiramkan ke api itu. Sungguh, pekerjaan yang agak sia-sia. Api yang sudah sangat besar itu tidak bergeming dengan air yang saya bawa. Bebeberapa kepulan api menatap saya dengan tatapan berkilat-kilat penuh amarah, siap menelan saya. Minggir....!, katanya sambil menepiskan saya. Sayapun terjerembab di sudut ini. Ya, sudut kejauhan dimana saya hanya bisa memandang kobaran tadi sebagai kepulan kecil berwarna merah.
Saya pun berpaling dari kepulan merah itu. Lama berpaling sehinga menjadi jengah saat melihat ternyata diman-mana masih ada juga kepulan merah itu. Lalu sang sahabat jiwa berkata, jangan lari, mari kita cari dimana titik apinya. Mari kita pelajari bagaimana cara memadamkan titik api tersebut. saya kembali terhenyak akan ucapan seorang sahabat jiwa saya itu. Betapa saya telah menjadi egois, menjauh dari api itu padahal begitu banyak karib kerabat telah menjadi korban api itu. Maka kamipun berusaha mencari dan mempelajari titik api itu. Sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Ternyata titik api itu berasal dari diri kita masing-masing. Jangan merasa telah piawai memadamkan api di dada hanya dengan sholat atau berdoa di gereja, atau sembahyang di pura dan kuil, bila setelahnya kita masih merasa menjadi orang/kelompok paling benar dan menganggap orang lain/kelompok lain salah tanpa ada kompromi. Itulah sumber sengketa selama ini. Itulah sumber api. Maka marilah padamkan titik api itu. Bukankah perbedaan adalah rahmah. Bila kita bisa memadamkan api di dalam diri kita, mengisi diri kita dengan air sejuk jiwa yang membasahi kalbu, sebesar apapun api menghampiri kita kita tidak akan terbakar. Bila setiap diri telah menjadi basah dan sejuk dengan jiwa damai, lalu bersatupadu, maka gelombang sejuk dan basah itu akan menjadi kuat dan cukup untuk memadamkan kobaran api.
Apakah semudah itu....? tentu tidak mudah. Memerlukan perjuangan yang panjang dan melelahkan, tapi bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Begitulah gumaman seorang anak manusia, kebetulan sabahat jiwa saya tentang kobaran api. Ia cuma seseorang yang berusaha agar dirinya dan siapa saja bisa diselamatkan, saat melihat ada kobaran api dimana-mana. Lihatlah di FB dan dimana-mana banyak yang sangat bernafsu menasehati, menceramahi orang lain dengan cara menggurui sehingga menimbulkan keusilan kelompok di seberangnya. Di sisi lain banyak pula kelompok yang mengaku atheist sibuk melecehkan dan menghina agama. Ada pula kelompok yang menamakan diri sebagai kelompok cinta kasih yang menolah agama tapi cara dan gayanya sangat jauh dari cinta kasih yang dia elu-elukan, malah , hiks, seperti preman pasar. Belum lagi masalah dengan negara tetangga kita yang telah menyulutkan api emosi kita. Jadi ajang saling hina, saling gontok-gontokan. Entahlah.
Ini renungan untuk diri sendiri, kata sahabat jiwa saya tadi. Bila ada yang berkenan, mari kita renungkan bersama. Sebelum saya tutup, saya ingin menyampaikan pesan dari sahabat jiwa saya tadi. Mari padamkan kobaran api di sekitar kita seikhlas dan semaksimal yang kita bisa. Mari kita bawa air jiwa nan basah menyejukkan dimanapun kita berada sehingga kobaran api di sekitar kita itu jadi berkurang. Syukur-syukur bila bisa padam sama sekali. Mari mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang. Selamat melanjutkan hari. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan ke8 hari ini, bagi yang menjalankan. Semoga kebarokahan menjadi milik kita semua.
Panggil pmk. Heuheu
ReplyDeleteBenar Bunda...kata orang sih.." jangan pernah lari dari masalahmu, dia akan terus mengejarmu..! hadapilah ..walau apapun yang terjadi..."
ReplyDeletebener banget mbak elly. ada baiknya kalo kita nggak terlalu terpengaruh dengan kericuhan atau masalah yang timbul, jika memang kita terkait di dalamnya, coba untuk mencari cara agar masalah tersebut dapat diatasi dengan baik
ReplyDeleteItulah api kemarahan dan nafsu Mbak Elly. Semoga dari dalam hati kita masih ada air sejuk yang dapat memadamkan kobaran api emosi. Dan semoga kita diberi kekuatan dalam memerangi hawa nafsu yang menyerang kita... amiiin..
ReplyDeleteSebuah permenungan yg menyejukkan hati. Betul sekali mbak Elly, aku juga miris melihat kobaran api itu disana sini. Hanya jiwa yg sejuklah yg dapat memadamkan api itu. Ingat, tak ada yg bisa membinasakan kejahatan, kecuali cinta!
ReplyDeleteduh, dengan istiqomah wudhu bisa memadamkan atau mencegah api itu nggak ya....:)
ReplyDeleteapi ini masih ada dijiwa, sering tersulut angin yang ingin membesarkannya. sampai satu titik aq terhempas dalam kemarahan yang sangat, bahwa, api ini harus aq hadapi. coba untuk melihat dari sisi berbeda, bermohon supaya egoku tidak menyulut lagi
ReplyDeletemoga nggak ada api lagi deh di hati2 kitah....^_^
ReplyDeleteApi nafsu amarah ,yang kadang bertandang menyembur jiwa kita dengan kemarahan ..dengan siraman rohani insyaallah api nafsu amarah itu akan padam..nice post mbak.
ReplyDeleteSebuah renungan yang perlu ...
ReplyDeleteMari redamkan api amarah yang meletup-letup didada
nice sharing
Mari Semua kita berdo'a semoga puasa kita senantiasa diberikan keberkahan dari Allah SWT, sehingga nantinya dapat memadamkan titik api yang tersulut dari jiwa kita.Amin.....
ReplyDeletesetuju. jgn dendam jgn simpan amarah.
ReplyDeleteoh, my God..
ReplyDeleteaku pribadi sedang berusaha memadamkan api yg percikan2nya hampir menghanguskan dada.
yg asapnya mampu menghalau pandangan mata batinku...
Allah, semoga terus bersamaMU...aku mampu menghilangkan kobaran api ini.
Thnks for this post, mbak...
*maaf baru mampir lagi, koneksinya amburadul*
@all, terimakasih komentarnya. Saya baru sajamenyiapkan yang sejuk dan basah nih, buat buka puasa. Selamat menanti bedug.
ReplyDeletejadi inget kisah seorang sahabat, Rasul menjaminnya surga hanya karena dia selalu melupakan dengki dan benci didadanya terhadap saudaranya setiap hendak tidur....
ReplyDeleteTernyata api sudah menjalar ke mana-mana, sampai di seberang pulau.
ReplyDeleteBenar adanya, kepulan asap merah membuaat kita tak bisa memandang dunia dengan lebih indah. barangkali jeda sejenak menemukan titik api tidak membiarkan asap merah terus mengepul. dan titik api tetap menyala, mungkin ada hikmahnya di balik kepulan asapnya.
Selamat malam mbak Elly.. hmm perenungan yg perlu.. sangat sangat sangat perlu. Thanks for sharing :)
ReplyDeleteMbak Elly.., andai semua orang membaca renungan mbak Elly ini pasti rasa damai itu akan segera tercipta...
ReplyDeleteBenar sekali apa yang mbak sampaikan..., terlebih dulu kita harus memadamkan kobaran api di sekitar kita. Dan selajutnya kita tak harus merasa benar sendiri.., itu yang terpenting.
Nice post mbak.., sangat mencerahkan.
api yang panas hanya bisa dipadamkam air yang dingin.Segala hal yang membuat kita merasa panas..tentunya bisa dipadamkan dengan hati yang lembut dan perkataan yang sopan....sukses mbak..
ReplyDelete@all, terimakasih komentarnya. Renungan di atas adalah renungan sahabat jiwa saya. Ya, kobaran api akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali bila setiap kita membawa air kesejukan jiwa kita yang basah oleh sikap cinta damai. Saya mau makan sahur dulu ya. Selamat makan sahur juga bagi sahabat yang menunaikan puasa ramadhan.
ReplyDeleteWaduh Bunda.
ReplyDeleteGampang terucap, Tapi berat di Jalankan.
Ketika Hati sedang berkobar oleh Panasnya API.
Rasanya susah untuk memadamkannya. Perlu Perjalanan Jauh untuk itu.
Sekedar Nasehat berupa hembusan angin, kadang malah membuat API itu berkobar kian Hebat.
Atau Rengkuhan berupa Air, justru membuat ia mati hitam mengabu hingga tak ada kehangatan.
Perlu sebuah Pelajaran,
Biarkan ia bermain api sedikit. Hingga ia tau panasnya. Kelak ia akan Bijak untuk menjaga agar ia tak terlalap dan Habis.
@Mas Ari, hey selamat blogging lagi. Hm....jangan main api ah, nanti diri sendiri jadi goosng. Bukan hanya itu, takutnya api terus membesar membakar orang-orang di sekitar, orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti esensi masalah yang sebenarnya, ikut gosong hanya karena terbawa angin masuk ke lingkaran kobaran api tadi.
ReplyDeletewah bener mbak, mari kita padamkan api di sekitar kita. dan untuk merubah semuanya, seperti kata Jacko "starting with the man in the mirror"
ReplyDeletebersabar boleh redakan api dalam diri kita
ReplyDelete..maka jadilah air untuk melenyapkan api!
ReplyDeletekesejukan hati lah yg akan memadamkannya.
ReplyDeletemet malem mbak.....met puasa tuk besok....
ReplyDeletehepi ramadhan
ReplyDeletesahur..........
ReplyDeleteapi harus dikelola
agar tidak membakar diri sendiri
renungan sebelum sahur
bunda udah sahur?
ReplyDeleteapi hati...hanya kita ya bisa memadamkannya...semoga puasa kita berkah, amin..
ReplyDeleteMaaf mbak, baru koment. Padahal dah baca semenjak mbak posting hehehe...
ReplyDeleteAndaikan banyak yang berfikir demikian, tentunyatak ada caci dan cela sesama. Semoga Allah mudahkan urusan kita semua. Insya Allah...
kemararahan emg emosi yang paling susah di tahan apalagi yang namanya rasa paling benar sendiri dan tidak mau mengerti orang lain.salam kenal y.. :-) please visit me back. thanks :-)
ReplyDelete