Antara Saya, Marie Antoinette, Atuzah Dan Secangkir Kopi
Saya sedang minum kopi di dinginnya udara pagi kota saya. Sementara saat sedang pagi juga, jauh menembus ruang dan waktu, ya sekitar 300 tahun sebelum saat ini, Marie Antoinette juga sedang minum kopi yang disajikan para pelayan di kastilnya yang indah. Di gubuknya, di pelosok Mogadishu, Atuzah sedang minum kopi pula bersama suami, ayahnya, ibunya dan 5 anak mereka. Ya, menembus ruang dan waktu seperti yang tadi saya bilang, kami bertiga sedang minum kopi. Sama-sama kopi, mungkin sama-sama maknyus rasanya bagi kami masing-masing. Yang membedakan cuma jenis kopinya, suasananya, posisi/dimensinya (ruang dan waktu), ya kan. Anda kalau saat ini baru bangun, ayo bikin kopi atau teh atau susu sesuai selera anda supaya anda segar.
Bagaimana segar bukan setelah ngopi atau ngeteh. Baik kita lanjutkan pengembaraan jiwa kita. Rupanya Marrie Antoinette sedang melirik saya, andai kami hidup dalam satu masa, dan dia mengenal saya (untunglah tidak ya, hihi). Lirikan matanya menyipit di sudut matanya. Ya...ini barangkali yang disebut lirikan agak sinis. Kenapa rupanya...? Saya juga tidak tahu. Mungkin, biasalah pandangan kaum borju, kaum jetset, kalau melihat kebersahajaan, kesederhanaan kelompok di luar mereka. Pandangan agak menghina, sambil dalam hati mereka berujar, untunglah kami tidak mengalami hidup membosankan seperti itu.
Sementara saya, kalau saya boleh jujur, ah sama saja pongahnya seperti Marie tadi. Sudut mata saya juga agak menyipit. Kalau ini bukan menghina, tapi lirikan memvonis. Dalam hati saya berkata, untunglah saya tidak mengalami hedonisme hidup seperti itu, hidup dalam kubangan dosa, jadi budak nafsu, apa indahnya...., sama saja kan jahatnya. Itu jawaban jujur saya mewakili sekian juta manusia di dunia ini yang posisi dan kondisinya serupa saya. Harap sabar ya, hehe, saya cuma mewakili suara teman-teman saya, kaum saya. Kaum menengah, miskin tidak, jetset jauh, kebetulan hidup dari keluarga memengah yang bisa mengakses teknologi, lumayan melek, katanya.
Atuzah sedang melirik kami berdua (saya dan Marie Antoinette). Lirikannya memelas, agak hampa, setengah putus asa. Hey kalian berdua, berhenti saling menghujat, jerit Atuzah. Lihatlah kami yang terpuruk dan sangat menggenaskan ini. Kenapa cuma bisa memandang saja, kalian rupanya tidak lebih dungu dari unta. Begitu kata Atuzah, datar, tanpa ekspresi. Spontan, jeritan hampa Atuzah itu menyentakkan kami berdua. Jadi jengah, tapi malu sekali rasanya menemukan keegoisan diri sendiri. Marrie, walau hatinya membenarkan jeritan atuzah tadi, tetap dengan leher tegak dan anggunnya melanjutkan mereguk kopinya. Sayapun begitu, mereguk kopi saya dengan gaya tidak perduli saya, gaya maknyus kopi kampung. Tetapi, jauh di lubuk hati kami yang paling dalam, kami trenyuh pada kehidupan Atuzah di gubuk reyotnya yang menggenaskan.
Ya sebenarnya kamipun mengakui kelebihan kami masing-masing. Saya dan Marie mengagumi ketegaran dan kesabaran Atuzah. Saya, begitu mengagumi Marie Antoinette, untuk hal-hal yang tidak saya punyai. Saya kagum pada semangat hidupnya, saya kagum pada petualangannya, walau tidak ingin menirunya. Saya kagum dengan kecantikan dan passionnya yang digilai hampir semua lelaki di zaman itu. Dan Marie, setidaknya dia kagum pada kebersahajaan saya. Dia kagum pada kontrol jiwa ketimuran saya. Masih menurut Marie, saya bisa lebih bebas mengeskpresikan diri tanpa terikat pada ukuran status sosial, gengsi dan lain-lain. Dia juga kagum pada keeksotisan sikap saya. Hush, benar lho, begitu dia berbisik tadi.
Bagaimana segar bukan setelah ngopi atau ngeteh. Baik kita lanjutkan pengembaraan jiwa kita. Rupanya Marrie Antoinette sedang melirik saya, andai kami hidup dalam satu masa, dan dia mengenal saya (untunglah tidak ya, hihi). Lirikan matanya menyipit di sudut matanya. Ya...ini barangkali yang disebut lirikan agak sinis. Kenapa rupanya...? Saya juga tidak tahu. Mungkin, biasalah pandangan kaum borju, kaum jetset, kalau melihat kebersahajaan, kesederhanaan kelompok di luar mereka. Pandangan agak menghina, sambil dalam hati mereka berujar, untunglah kami tidak mengalami hidup membosankan seperti itu.
Sementara saya, kalau saya boleh jujur, ah sama saja pongahnya seperti Marie tadi. Sudut mata saya juga agak menyipit. Kalau ini bukan menghina, tapi lirikan memvonis. Dalam hati saya berkata, untunglah saya tidak mengalami hedonisme hidup seperti itu, hidup dalam kubangan dosa, jadi budak nafsu, apa indahnya...., sama saja kan jahatnya. Itu jawaban jujur saya mewakili sekian juta manusia di dunia ini yang posisi dan kondisinya serupa saya. Harap sabar ya, hehe, saya cuma mewakili suara teman-teman saya, kaum saya. Kaum menengah, miskin tidak, jetset jauh, kebetulan hidup dari keluarga memengah yang bisa mengakses teknologi, lumayan melek, katanya.
Atuzah sedang melirik kami berdua (saya dan Marie Antoinette). Lirikannya memelas, agak hampa, setengah putus asa. Hey kalian berdua, berhenti saling menghujat, jerit Atuzah. Lihatlah kami yang terpuruk dan sangat menggenaskan ini. Kenapa cuma bisa memandang saja, kalian rupanya tidak lebih dungu dari unta. Begitu kata Atuzah, datar, tanpa ekspresi. Spontan, jeritan hampa Atuzah itu menyentakkan kami berdua. Jadi jengah, tapi malu sekali rasanya menemukan keegoisan diri sendiri. Marrie, walau hatinya membenarkan jeritan atuzah tadi, tetap dengan leher tegak dan anggunnya melanjutkan mereguk kopinya. Sayapun begitu, mereguk kopi saya dengan gaya tidak perduli saya, gaya maknyus kopi kampung. Tetapi, jauh di lubuk hati kami yang paling dalam, kami trenyuh pada kehidupan Atuzah di gubuk reyotnya yang menggenaskan.
Ya sebenarnya kamipun mengakui kelebihan kami masing-masing. Saya dan Marie mengagumi ketegaran dan kesabaran Atuzah. Saya, begitu mengagumi Marie Antoinette, untuk hal-hal yang tidak saya punyai. Saya kagum pada semangat hidupnya, saya kagum pada petualangannya, walau tidak ingin menirunya. Saya kagum dengan kecantikan dan passionnya yang digilai hampir semua lelaki di zaman itu. Dan Marie, setidaknya dia kagum pada kebersahajaan saya. Dia kagum pada kontrol jiwa ketimuran saya. Masih menurut Marie, saya bisa lebih bebas mengeskpresikan diri tanpa terikat pada ukuran status sosial, gengsi dan lain-lain. Dia juga kagum pada keeksotisan sikap saya. Hush, benar lho, begitu dia berbisik tadi.
Bagaimana menurut Atuzah ?. Bagi Atuzah, Marie Antoinette dengan kekuasan dan powernya (kecantikan yang memikat hampir sebagian besar lelaki paling berpengaruh di dunia saat itu) bisa menjadi dewa penolong mereka. Bagi Atuzah, saya dengan jiwa sosial sederhana ala dunia ketiga yang saya miliki, saya bisa jadi pelopor utuk menolong dia dengan cara saya. Menurut Atuzah kami berdua adalah kaum yang jauh lebih beruntung dari dirinya, betapa inginnya Atuzah menjadi kami. Sayang, juga masih menurut Atuzah, kami kurang perduli. Kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Begitu kata Atuzah lagi, sambil mereguk kopinya pelan dan menundukkan kepala.
Begitulah sepenggal cerita tentang saya, Marie Antoinette, dan Atuzah. Kami bertiga adalah metofora dari beberapa sosok manusia di dunia ini. Kita sangat tahu bahwa kita sangat tidak berhak menilai secara bebas, menghakimi, memvonis orang lain. Tapi seringkali kita lupa, lalu terus melakukannya. Kita tidak pernah tau apakah yang kita lakukan atau yang orang lain lakukan adalah dosa atau tidak. Sebab dosa tidak sekedar apa hal yang dilarang yang tertera di kitab suci kita, jauh lebih luas dari itu. Kemampuan kita manusia sangat terbatas kan. Bukan begitu...?
Kami bertiga (saya, Marie Antoinete, dan Atuzah) mereguk kembali kopi kami, dengan senyum kecil yang menyungging di bibir kami masing-masing. Di benak kami bertiga, ada kata yang terukir, dunia ini indah bila kita saling memaklumi, saling memahami, saling menghargai. dan tentu saja akan semakin indah dan damai bila kita saling membantu. Ya keperdulian dengan empathy, serta ketulusan yang kita miliki, sesuai kemampuan kita. Mari kita renungkan bersama sambil anda meneruskan pula minum kopi, susu, atau teh anda. Selamat pagi semua.
Begitulah sepenggal cerita tentang saya, Marie Antoinette, dan Atuzah. Kami bertiga adalah metofora dari beberapa sosok manusia di dunia ini. Kita sangat tahu bahwa kita sangat tidak berhak menilai secara bebas, menghakimi, memvonis orang lain. Tapi seringkali kita lupa, lalu terus melakukannya. Kita tidak pernah tau apakah yang kita lakukan atau yang orang lain lakukan adalah dosa atau tidak. Sebab dosa tidak sekedar apa hal yang dilarang yang tertera di kitab suci kita, jauh lebih luas dari itu. Kemampuan kita manusia sangat terbatas kan. Bukan begitu...?
Kami bertiga (saya, Marie Antoinete, dan Atuzah) mereguk kembali kopi kami, dengan senyum kecil yang menyungging di bibir kami masing-masing. Di benak kami bertiga, ada kata yang terukir, dunia ini indah bila kita saling memaklumi, saling memahami, saling menghargai. dan tentu saja akan semakin indah dan damai bila kita saling membantu. Ya keperdulian dengan empathy, serta ketulusan yang kita miliki, sesuai kemampuan kita. Mari kita renungkan bersama sambil anda meneruskan pula minum kopi, susu, atau teh anda. Selamat pagi semua.
Wah, bu ikutan dunk ngopinya... Bu, apa tadi malem mimpi ketemu mereka2 :)
ReplyDeleteEh, saya pertamaxxx yah...??? wah, dapet secangkir kopi gratis nih...
ReplyDeletenice posting..
ReplyDeletemet pagi dunia... :)
makasih yah,.... pagi2 emang enaknya ngupi.
ReplyDeleteNice artikel bunda cantik!
ReplyDeleteMau dooong kopinya..hehe!
Maaf lama gk mampir,jadi kangeeeeeen!
bagaimanapun suasananya...minumnya tetep kopi yah mbaa....hehehe...*tulisanmu selalu saja bagus mbaa...
ReplyDeleteItulah manusia, selalu ada perbedaan dan persamaan. Itulah yg membuat dunia ini indah, asal kita tak saling menghakimi satu sama lain
ReplyDeletekebetulan henny juga lagi ikutan ngopi nih, berarti kita berempat dong.
ReplyDeletesalam kenal mbak elly
kopi, mungkin sesuatu yang tak pernah alpa dari hari2 bunda
ReplyDeleteSaling memaklumi, saling memahami, saling menghargai. Jika semua orang bisa bersikap seperti itu, yang terjadi adalah 'kedamaian'
ReplyDelete@Anazkia, hehe, ayo ngupinya mbak
ReplyDelete@lilliperry, thanks sobat.
@Stiawan, sama2 bang Iwan
@Mellyta, thanks, ayo ngupi sama2 tiap pagi
@rHeeaz, begitulah kl penyuka berat kopi, thanks\
@Fanda, siip mbak.
@Henny Y.C, iya gak hnya berempat hen, seabrek dunia. Salam kenal kembali
@Ahmad Flamboyant, hehe, begitulah nak
@Rudy wur, ya sobat setuju. Mari kita saling2 yg tadi, sambil tetap memegang teguh apa yg kita yakini di dalam jiwa masing2, jgn terlepas.
Kita tuh emang kadang gak sadar menilai orang lain
ReplyDeletepadahal hati kita sudah bilang jangan
tapi secara gak sadar begitu ada sesuatu yang nyeleh..gak sengaja komentar juga
kalo bicara masalah Maria Antoinete saya juga kagum mbak..
Punya kecantikan yangbisa menaklukkan lelaki yang punya kekuasaan
dan gak semua wanita mampu melakukan
Btw, kenapa ya mbak..kalo ngopi saya suka kembung
karena itulah, saya gak pernah bisa menikmati keharuman kopi dipagi hari
wah aq jarang menikmati kopi pagi..abis bangunnya siang..heheh
ReplyDeleteMantap nie postingannya...
ReplyDeletemereka2 itu siapa sih mbak?
ReplyDelete*males googling... pengen guling-guling...*
@Itik Bali, siip Tik. Ya Itik minum susu aja.
ReplyDelete@Putra Sigit, skrg udah bangun neh ? hehe
@Cak Narto, cak golek bakwan yuk
@JengSri,abis belon cuci muka,seh,canda jeng.
@bodrox, hehe, yuk mari kita guling-2...
memang benar, kita sering menghakimi oarng lain tapi kitapun amat tidak pernah menghakimi diri kita sendiri. Maksud saya adalah memulainya dari dirisendiri..baru seterusnya...
ReplyDeletemenghakimi orang lain memang mudah....
ReplyDeletebut,..ngopi ? yuuukkk...mau..mau...mau...
@boykesn, siip,itulah esensinya. Itulah penyakit kita. Yang saya maksudkan, pikiran sinis menghakimi di benak kita (tidak dikeluarkan, cm di pikiran)ttg org/pihak lain juga harus kita buang jauh2 deh. Tokoh Saya di cerita di atas saya maksudkan sbg kata ganti jamak, maksudnya adalah kita, hehe.
ReplyDelete@Yudie, mantap. Ya ngupinya emang pagi tadi mas, hihi.
begitulah manusia.. suka menilai orang lain, terutama keburukannya, bukan kebaikannya.
ReplyDeletetapi daripada mikirin orang lain.. mendingan ngopi lagi aja deh.. mba.a..
salam kenal ya...
:) kita memang harus instropeksi diri sebelum menilai seseorang,belum tentu kita bisa seperti dia,semua orang punya kelebihan dan kekurangan iya kan buk,
ReplyDeleteklo ngopi ajak ajak saya dunk,,hehehh
permisi,,, numpang lewattt.....
ReplyDeletesaya sambil minum teh bening bikinan si emak menatap kalian bertiga kagum, lebih kagum lagi saat meperhatikan dengan seksama yang bikin tulisan ini. "dalam hati, ...kapan yah bisa belajar menulis dengan citarasa kopi,susu,mocca,gula aren,dan sedikit caffein" hingga yang baca bisa kecanduan baca-dan baca lagih :D
ReplyDeletemembaca artikel ini senikmat minum kopi....
ReplyDeletepagiii bu Elly,,,,
duh, dah lama banget ga minum kopi disini, postingnya makin asyik aja...
keren sekali postingannya.. sungguh dalam...
ReplyDeleteatuzah ingin kita 'berbuat'... sayangnya dan seringkali itu hanya 'niat' tanpa tindakan selanjutnya...
thanks buat pencerahan hati postingannya....
wah ada tiga mba elly,
ReplyDeletemana ya yang mba elly asli, jangan-jangan cuma klon
ingan
Kayaknya ada yang kurang buk saya juga minum kopi..ha...ha.. ceritanya menarik buk inspiratif
ReplyDeletepagi mbak Elly, aku barusan minum teh habis siram siram kebun
ReplyDeletesetuju dgn paragraf terakhir mbak
hmmm mestinya ke sini pas pagi tadi yah
ReplyDeletebaca postingan sambil mereguk teh lemon kesukaanku
hehehhe yo wis lah ngeteh pagi udah brlalu karena sekarang udah tengah hari
kita memang sering menilai orang dari bentuk luarnya
ini yang bikin kita sering kali salah menilai
penampilan luar tidak menjamin apakah seseorang itu baik atau tidak
hmmm makasih mbak Elly
selalu ada yg bermanfaat untuk di bawa pulang ketika saya berkunjung kesini
salam kak elly...lama tak komen ni...tak leh online
ReplyDeletenumpang minta kopinya...
ReplyDeletepaling suka minum kopi saat suasananya dingin
ReplyDeletehmmmmm
mbak ngopi kok ndak ajak-ajak sih,huhh..
ReplyDeletebtw mbak blognya aku follow yahhhh, tengkiuu
Ya begitulah makhluk di alam ini. Kalau semua di ciptakan dengan suasana,kondisi,rupa,pekerjaan,pikiran dan segalanya sama, Apa jadinya dunia ini.
ReplyDeleteKalau semua di ciptakan menjadi penjual kopi, terus yang jual aqua gelas sama nasi sapa donk? Gw kan gak suka minum kopi hahahaha
salam kenal
jadi pengen bikin kopi nih...
ReplyDeletewah mbak, secara gak langsung aku mulai mengiyakan persamaan karakter dengan Antoinete (terkait award yang mbak kasih)... bedanya aku masih sebatas retorika dan "kamuflase" doang...
ReplyDeleteaku sedang belajar memahami posisi orang lain, biar tau rasanya ada di posisi mereka gak gampang. makasih mbak, udah ingetin...
judul yang menarik , postingan yang menarik, dan secangkir kopi yang juga menarik...xiixiixxixiix..
ReplyDeleteHebuat mbak nih...
sama-sama secangkir kopi.. namun memiliki makna yang mendalam dimasing-masing peminumnya..
ReplyDeleteeuh....seneng banget ya minum kupi.....
ReplyDelete