(Buku) Orhan Parmuk di Malam Tahun Baru Twin Tower Petronas


Entah kenapa saya ngebet pengen liat twin tower petronas dengan latar kembang api tahun baru. He, maka hari pertama traveling saya ke Kuala Lumpur ini sayapun kesana.



Nekad bingit ya. Padahal di Palembang saya nyaris gak pernah ikut-ikutan acara tahun baru kecuali ngumpul di rumah dengan keluarga ditemani jagung, entah bakar atau rebus, pempek, sate kalau kebetulan ada. Seperti ada hentakan-hentakan tak henti, hehe, yang meminta saya kesana. Ditemani kerabat saya Rina, kamipun bergerak kesana.

Betul saja, hentakan-hentakan itu bukan tanpa alasan. Kembang apinya sih cuma seiprit, gak sebanyak di Palembang kalau tahun baru, tapi saya dapat sesuatu. Saya menemukan aura yang istimewa manakala sudah dapat posisi uenak duduk di pelataran spot KLCC, taman yang menghadap twin tower petronas. Mau tau? Ya aura kosmopolitan persaudaraan antarbangsa. Bagaimana semua kalangan berbaur duduk dengan nyaman dan saling sapa ramah meski suasana sangat ramai dan sempit.

Buat saya itu mengharukan. Yang keturunan india, keturunan tionghoa, bule ekspatriat dan turis backpacker, bahkan mereka yang berasal dari Kampuecha, myanmar atau vietnam (dugaan saya dari bahasa mereka), dan tentu saja sodara-sodara Indonesia saya entah turis atau tki, berkumpul bersama dengan damai dan riang. 

Di sebelah kanan saya, pasangan muda keturunan india. Di depan saya ibu agak tua yang saya duga dari Kampuecha tadi, sementara anak gadisnya berkumpul bersama teman-temannya di belakang saya. Di sebelah kiri saya, seorang perempuan bule sedang membaca buku. Ketika sesekali buku itu diletakkan, terlihatlah judulnya "Snow", karya Orhan Parmuk.

Saat itu juga saya tercenung, diantara ratusan orang yang sedang menunggu jatuhnya kembang api dari atas twin tower petronas itu, ada juga yang tak main-main memanfaatkan waktu menunggunya dengan sastra post modern yang lumayan buat saya. Betapa kontras dengan suasana gaduh suara trompet yang entah kenapa telah ditiup terus menerus padahal belum teng jam 12 malam. Beda ya dengan di Indonesia.


Buku Orhan Parmuk itu mencekat saya. Betapa lama saya tak menyantap buku-buku bagus padahal saya bisa sempatkan sih kalau saya mau. Sekaligus menggugah saya bahwa selera orang bisa sama bisa berbeda. Tak semua penikmat sastra dan buku itu betah menyendiri saat membaca buku, kadangkala mereka ingin membaca saat suasana ramai dan meriah. Entahlah.  Yang jelas buku Orhan Parmuk itu mengingatkan saya, seharusnya saya bawa satu saja buku di rak yang dibeli tapi belum sempat terbaca itu. Katanya liburan mau sambil baca buku, ah rencana doang. Salam.

Comments

  1. orhak pamuk memang top bener, ditambah suasana twin tower...

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.