Alice Munro, Baguskah?


Tiba-tiba Alice Munro ada di hadapan saya. Terjejer rapi di rak toko buku Periplus terminal-2 Bandara Soekarno-Hatta. Terbungkus plastik, dengan stiker warna hitam bertuliskan "Winner of The Nobel Prize in Literature". Seketika suara ilalang di kepala saya tak bisa dibendung. Ia muncul begitu saja. Kalimatnya singkat, "Alice Munro, Baguskah?" 

Pertanyaan yang sulit saya jawab. Sebab buku-buku itu tak bisa diintip untuk menemukan beberapa halaman, entah di depan atau belakang yang bisa membuat saya menyimpulkan buku itu bagus. Satu-satunya petunjuk bahwa buku itu bagus adalah stiker warna hitam tadi. Sambil saya mengamati buku-buku itu, jari jemari saya menncari tahu lewat mesin pencari Google. Nah, Alice Munro, 82 tahun, penulis Kanada yang memenangkan penghargaan Nobel sastra tahun 2013 (Oktober 2013). Hehe, penulis hebat rupanya. Jadi baguskah (untuk dibeli)? Entahlah. Sesuatu di kepala saya berkerjab.

Beberapa minggu yang lalu saya menemukan "Linguae" karya Seno Gumira Ajidarma dalam kota Obral sebuah toko buku di kota saya. Harganya, hanya 15 ribu. Buku itu cepat saya beli. Hoho, bukan saja karena harganya murah, tapi karena ilalang di kepala saya yakin bahwa karya SGA cukup bagus. Alasan lain, saya tak tega buku penulis yang saya sukai gaya tulisannya berada  lama di kotak obral. 

Tadi saat di Periplus dan berhadapan dengan buku-buku Alice Munro yang memenangkan perhargaan Nobel, saya tidak jadi membelinya. Alasannya, ilalang di kepala saya meragukan buku itu. Pertama, selera adalah hal yang absurd. Sudah sering terjadi buku yang best seller, bahkan memenangkan perhargaan dunia, tidak cukup bagus untuk saya. Sebab selera saya buruk. Alasan lain, harga yang di toko itu dibandrol Rp.148.000 terlalu tinggi untuk buku yang saya belum yakin apakah cukup bagus buat saya.

Jadi, Alice Munro, baguskah? Mungkin bagus. Tapi tidak cukup bagus untuk saya beli tanpa saya baca dulu beberapa halamannya. Begitulah. Meski buat orang lain membaca tulisan penulis hebat adalah salah satu cara hebat untuk menjadi penulis, tidak buat saya. Saya ingin menulis dengan cara saya sendiri. Seperti kau tau, sebagaimana cara ilalang menari.

Alice Munro, baguskah? Entahlah. Buku adalah buku. Membelinya, tiap orang punya pertimbangan sendiri bukan. Salam.   

Comments

  1. yup, setuju, bu ... Saya pernah beli buku hanya berdasar label best seller dan penghargaan, padahal waktu itu saya ragu, bakal suka atau enggak, ternyata betul ... saya tidak bisa menikmatinya.

    ReplyDelete
  2. Alice Munro.. errr.. belum pernah denger #halah. Tapi berdasarkan penuturan di atas, aku malah jadi penasaran pada penulis ini.. *langsung gugling* thanks infonya :D

    ReplyDelete
  3. Saya bisa jawab sebagai: Bagus banget. :)

    Begitu banyak buku2 yang muncul sekarang-sekarang ini membuat saya jauh lebih hati-hati beli buku dan biasanya melakukan riset dulu siapa penulisnya dan penghargaan apa saja yang didapat. Alice Munro ini penulis tua dengan jam terbang yang sangat tinggi. Dia juga bukan penulis flamboyan yang banyak mulut, mungkin karena itu juga dia jadi banyak karya haha...

    Yang menarik bagi saya, selain karena dia berhasil menyabet hadiah Nobel 2013, dia juga konsisten menulis cerpen.

    Setelah saya membaca kumpulan-kumpulan cerpen-nya, saya merasa cocok dengan tulisannya dan cerpen-cerpennya memang lebih mirip novel mini yang masih menyisakan pertanyaan dan interpretasi pembaca.

    ReplyDelete
  4. Alice Munro adalah penulis cerpen nomor dua yg ada di daftar penulis cerpen favorit saya. Yang pertama adalah Raymond Carver. Intinya adalah mengerti "mengapa buku-buku mereka memperoleh penghargaan?". Sebetulnya kita harus paham dulu karakter dari label penghargaan-penghargaan itu. Saya sudah membaca banyak sekali buku2 pemenang pulitzer dan ternyata panelist memilih karena tema "human struggle in life" yg kental dimiliki buku2 tsb, serta inovasi dari gaya penulisannya. Lalu ada pula Booker Prize yg memilih karena estetika kuat yg harus dimiliki pemenang (keseimbangan badan tulisan: proporsi plot, gaya penulisan, penting atau tidaknya tema yg dibawa, bobot tulisan itu sendiri). Lalu Nobel prize yg selain menekankan konsistensi gaya penulisan sang penulis di setiap bukunya, pemenang juga terpilih karena membawa tema atau persepsi kemanusiaan serta lingkungan yg kuat (tidak heran hampir semua penulis yg memenangkan Nobel Prize pernah terlibat langsung atau mengangkat tema mengenai perang (hemingway, muller, milosz,...) mengenai sejarah kemanusiaan (Cronin, Faulkner, Mommsen), mengenai keperibinatangan (Coetzee, Kipling), bahkan keperitumbuhan (Gordimer).

    Dan sekarang di masa ketika internet sudah ada dimana-mana, sudah bisa dibilang sangat mudah untuk kita membaca kritik-kritik dari para kritikus terpercaya untuk lebih mengerti lagi makna dari buku2 dgn label penghargaan sastra. Atau simpel saja: biasanya terdapat bagian pengantar dari buku2 pemenang penghargaan. Pengantar itu harusnya membantu kita utk lebih memahami apa sebetulnya maksud sang penulis menulis buku2 tsb dan mengapa panelist memutuskan utk memberikan penghargaan.

    Saya akui niat membaca dan jenis bacaan memang adalah pilihan masing2 individu. Tapi bagi saya, porsi dari membaca hal2 ringan harus kita tekan menjadi setidaknya hanya 5% dan bacaan bermutu menjadi setinggi 95%. Karena hidup hanyalah sementara dan terdapat lebih dari seribu buku pemenang penghargaan yg harus dijadikan prioritas agar kualitas individual bahkan rakyat Indonesia pun meningkat. Jangan sampai kita terus-terusan meminum kopi sachet yg rasanya sangat "pabrik" dan begitu-begitu saja sementara di luar sana terdapat kopi "handcrafted" yg meskipun lebih mahal, memberikan kita aroma, rasa dan tekstur yg lebih berwarna serta menggoda dan tentunya selalu memberikan kita "perspektif baru". Memberikan kita pengalaman-pengalaman baru yg lebih KAYA. Seperti kita tahu: Dalam bisnis, untuk membuka usaha harus memiliki modal. Untuk menjadi orang kaya harus tau apa yg dimaui oleh orang-orang kaya. (ini hanya perumpamaan, semoga tidak ada pihak yg merasa tersinggung)

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.