Perempuan dan Hari Bumi

Perempuan dan bumi, dua hal yang serupa meski tak sama. Pada keduanya, terdapat kehidupan. Bisa memberi kehidupan, menaungi, dan menyejukkan, katanya. Katanya lagi, surga di bawah telapak kaki ibu. Dan, he, bukankah telapak kaki perempuan itu (entah jika dia hantu) menapak di bumi. Maka, perempuan dan bumi itu memang dua hal yang seperti kakak-adik bagi saya.

Hari ini adalah Hari Bumi se Dunia, katanya. Maka seperti yang kita lihat bersama, hari ini media dan kanal-kanal online meneriakkan gaung peringatan Hari Bumi dengan gegap gempita. Sebab perempuan dan bumi itu terkesan bak kakak-adik bagi saya, entah kenapa saya ingin menunliskan kontemplasi saya tentang Hari Bumi tersebut. 

Seperti apakah manusia, khususnya perempuan, menyikapi hari bumi ? Rasanya banyak hal yang bisa dilakukan perempuan. Tak sekadar tanam pohon. Tanam kangkung. Atau tanam ubi. Tidak juga dengan sekadar gowes sepeda ke kantor hari ini. Tidak sekadar makan makanan organic atau tak bermake-up hari ini. Hari Bumi itu..., baru ada maknanya bila penghargaan kepada bumi dilakukan setiap hari. Bukan sekadar perayaan seremonial. Bukan sekadar ucapan di bibir. Juga bukan sekadar membuat tulisan tentang Hari Bumi.

Cara perempuan menyikapi Hari Bumi memang tergantung pengenjawantahan masing-masing. Hanya, bagi saya cara terpenting bagi para perempuan merayakan Hari Bumi adalah dengan menghargai kehidupan yang ada di bumi ini sebagaimana semestinya. Menghargai kehidupan adalah menghargai bumi. Tidak kemaruk, maka eksploitasi terhadap bumi akan berkurang. Ketika perempuan kemaruk ingin harta, kesenangan dengan cara instan, maka laki-laki (ingin menunjukkan superioritasnya akan berusaha dengan cara instan pula mendapatkannya). Manusia korupsi. Hutan dibabat. dan lain-lain. Terjadilah eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang menambah kerusakan bumi. 

Ketika perempuan menghargai bumi, setiap hari, maka sikap penghargaan tersebut akan diteruskannya kepada generasi anak cucu. Seperti yang telah dilakukan nenek moyang kita yang bijak. Kearifan lokal diwarisi kepada generasi mendatang. Perempuan dan kearifan lokal, adalah dua hal yang harus ada untuk menjaga bumi ini. Persis seperti yang dilakukan Ratu Sibuhun (Penulis Kitab Simboer Tjahaya). Pada setiap perempuan, sadar atau tidak sadar, ada kearifan lokal yang tersimpan di kepalanya. Kearifan lokal yang dihembuskan lewat nyanyian atau dongeng ibu dan nenek sebelum tidur. Tinggal mengingat, memunculkan, meresapi, dan mengamalkannya. Cara bagaimana perempuan meng"Ibu"kan jiwanya dan mmeberikannya pada kehidupan di bumi.

Begitulah. Tentu saja, gerakan menanam pohon, mengurangi pemakaian plastik, gerakan menurunkan lapisan ozon, dll itu tetap diperlukan. Hal terpenting adalah bagaimana perempuan memiliki "Ruh" cara menghargai dan memperlakukan bumi dengan baik setiap hari. Perempuan, kita bisa. Salam.   

Comments