Namanya Aili

Namanya Aili. Entah Aili apa. Entah ia berasal dari mana. Ia, biasa saja. Wajah bulat agak oval. Rambut hitam legam. Hidung, lumayan pesek, hehe. Tetap saja, buatku ia istimewa...

Ketika kanak-kanak dulu, Aili duduk di atas pagar rumah sambil memandang langit senja. Pada langit ia menyampaikan beberapa tanya soal surga dan neraka yang ia baca dari buku cerita agama. Apakah ada acara Aneka Ria Safari di Surga ? Apakah si Budi, temannya yang kemarin mengambil mangga di halaman rumahnya tanpa izin sebab kebelet lapar itu akan masuk neraka..? Dan langit tak menjawab melainkan memberinya kegelapan. Sebab malam telah tiba.
 
Saat Remaja, Aili menangis pada Tuhannya. Rasa ingin selalu didekapNya itu begitu kuat. Tak jelas kenapa. Hanya ingin didekapNya. Aili ikut pengajian kampus sebagaimana teman-teman satu kostnya. Cukup lama ia ikut komunitas itu hingga ia merasa kecewa dan jengah. Aroma mendeskritkan orang yang dianggap tidak sejalan itu begitu kuat. Ada senior yang melarang ia dan teman-temannya mengikuti ceramah bapak A karena si A diangap sesat. Salaman pun dibedakan. Bersalaman dengan sesama putri yang memakai jilbab penuh kehangatan. Dengan yang tak berjilbab, sekedar jabat tangan biasa. Pembatasan dan pelarangan dengan alasan yang tak bisa diterima jiwa itu adalah hal yang tak disukai Aili.  Pelan-pelan, Aili meninggalkan komunitas pengajian kampusnya.

Kini, tiba-tiba Aili merasa dirinya telah menjadi tua. Usia kepala empat. Beberapa uban mulai tumbuh. Garis senyum mulai menggurat di pipinya. Mata mulai rabun dekat. Selebihnya, tak ada yang berubah. Aili tetaplah Aili. Perempuan Pemberontak yang bahkan memberontak pada pemberontakannya sendiri. Tadi pagi saat dalam perjalanan menuju tempat kerja, ia mulai mengumpat dalam hati. Meski masih pagi jalanan mulai macet. Ah, tepat di depan TPU itu. Rupanya ini hari Jum'at. Rupanya lagi, ini sudah bulan Ruwah dimana orang-orang mulai "Nyekar" menjelang Ramadhan tiba..

Maka serta merta Aili teringat lagi bahwa sebentar lagi kehebohan dan teror TOA itu akan terjadi. TOA masjid-masjid di sekitar tempat tinggalnya akan saling bersahutan dan berlomba memperkeras suara TOA. TOA yang akan mulai bersahutan tak henti sepanjajng hari. Tak hanya adzan, ceramah dan tadarusan, pengajian menjelang maghrib, acara membangunkan umat untuk sahur. Seolah-olah ibadah hanya dan harus ditempuh seperti itu. Dan semua orang entah dia Muslim atau bukan harus mendengar. Ohhhhh.! 

Adakah yang berubah ? Apakah Aili sudah tak ingin didekapNya lagi ?  Tak ada jawaban. Hening. Senyap. Lalu terdengar suara,
"Tentu saja aku ingin terus didekapNya.."
"Hanya, aku merindukan kesyahduan yang dulu.."

Ah. ternyata Aili menginginkan kesyahduan dekapanNya seperti yang ia rasakan dulu. Kesyahduan itu, bagi Aili sudah lama direnggutkan oleh orang-orang aneh yang memutar TOA dengan suara hingar bingar dengan alasan menegakkan Syiar Agama. Betapa manusia sering lari dariNya meski menurutnya ia berlari kepadaNya.  

Begitulah. Tak jelas siapa Aili. Mungkin hanya suara angin ketika ialang meliuk lagi tadi. 

Comments

  1. hemmm, apa yang dialami Aili ternyata terjadi dimana-mana. Apa yang dipikirkan Aili ternyata sempat terpikirkan juga olehku saat mertuaku tak bisa menerima telpon yang masuk ke rumah karena suaranya kalah kenceng dari TOA musholla di dekat rumah. Atau saat tetanggaku yang non muslim memilih pindah rumah karena bersebelahan dg musholla yang terus menerus mengumandangkan "ritual keagamaan" yang membuatnya gak nyaman menjalankan ibadahnya sendiri.

    ReplyDelete
  2. nice :)
    tidak menggurui, tapi memberi pelajaran :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.