Jon dan Mona, Kunang-Kunang di Sembilang

Ia berjalan menuju pos jaga. Suara air yang memecah bibir pantai di akar bakau dan pedada seolah jadi musik pengiring baginya. Sambil melangkahkan kaki menuju pos jaga, tanpa bisa dicegah angannya terbang. Terbang lagi pada kejadian lama saat ia dan Mona bertemu. 


Sebuah kota bernama Bandung. Mungkin kau tau kota itu. Entah kenapa, dia tak pernah merasa tertarik perempuan di kota itu hingga dia bertemu Mona. Padahal ia sangat suka kota itu. Apa sebab ? tak ada penjelasan.

Apakah yang bisa diharapkan dari perempuan kota ini ? desisnya sendiri. Sudah kutelusuri segala jenis mereka hingga berakhir pada kemuakan. Tiap lorong bisa berikan kamar nyaman buatnya bermesraan bersama pacar. Kondom bisa dibeli di warung dan pinggir jalan. Sedang dia, laki-laki kampung selatannya. Laki-laki yang harapkan perempuan sebagaimanan yang ia lihat pada ibunya. Perempuannya yang miliki senyum di matanya. Perempuan yang bisa munculkan kerinduan dimanapun ia berada. Betapa aneh pendapatnya.

Salahkan dia ?. Entahlah. Mungkin saja dia miliki latar belakang kelam, bisa saja. Konon, dia berasal dari keluarga yang retak. Ia beribukan perempuan Kampung Selatannya. Sedang ayah, berasal dari utara. Marga Purba. Tepat saat ia berusia 8 tahun ayah dan ibunya bercerai. Alasannya..., ibunya ingin hidup tenang. Tenang beribadah sebagaimana agama lamanya. Sudah 8 tahun hidup menjalani hidup bersama laki-laki yang di tahun kedua pernikahan mereka, setelah ia lahir, kembali ke agama asalnya. Padahal mereka menikah secara Islam, agama ibunya. Sejak itu, ia merasakan ada yang retak di dadanya.

Ia hidup bersama ibunya. Dibesarkan ibunya secara Islam dengan cara sederhana sebagaimana adat kampung Selatan ibunya. Hari demi hari ia melihat bagaimana ibunya telah berjibaku menghidupinya. Banting tulang. menjadi buruh pabrik. Sesampainya di rumah, masih menerima order renda. Tak pernah mengeluh lelah. Tak pernah menikah lagi. Tak pernah melakukan hal-hal nista hingga ia dewasa kini.

Maka ketika ia bertemu Mona, entah kenapa, seketika ia melihat bayangan ibunya. Meski ibunya dan Mona begitu berbeda. Mona perempuan metropolis, sedang ibunya perempuan kampung. Tetap saja ia melihat bayangan ibunya pada Mona.

Oh, apakah yang bisa dikatakan tentang laki-laki yang ingin melihat ibunya di perempuannya ? Tak ada, kecuali satu kata, "Kekanak-kanakan". Ya pastilah dia kekanak-kanakan.  Hanya laki-laki kekanak-kanakan yang menginginkan sosok ibu pada perempuan pendamping hidupnya. Seperti ingin mencari pelukan hangat seorang ibu pada istrinya.

Tinggal berapa langkah lagi. Pos jaga sudah terlihat. Bangunan panggung dari kayu. Bangunan kayu tak bercat yang sudah agak kusam. Seperti ada bayangan Mona melintas sekelebatan di jendela yang terbuka di pos jaga itu. Monakah itu ? Entahlah.

Benaknya masih terbang. Kini terbang dan hinggap lagi pada Monanya. Kita dengarkan saja suara benaknya. 

Mona itu, sangat dekat dengan ayahnya. Mungkin karena ia anak perempuan. Apalagi anak perempuan tertua. Bukankah katanya anak perempuan jamak dekat dengan ayahnya. Begitupun Mona dan sang ayah. Bagi Mona ayah adalah sumber kehidupannya. Mona merasakan seluruh pikiran dan sel tubuh ayahnya turun padanya. 

Ayah adalah sumber kehidupannya. Bila Mona adalah sehelai daun, maka ayahnya adalah angin. Itulah alasan kenapa Mona sering menjuluki ayahnya dengan "Aginku". Kadangkala ia menyebut ayahnya si "Angin Selatan".

Masih Mona ingat bagaimana ayahnya telah mengajarinya menulis. Hiks, ayah membantunya membuat tulisan tentang liburan. Ketika itu Ibu Mona sedang bekerja. Sedang ayahnya, karena tak miliki perkerjaan tetap kecuali hanya menulis tentu lebih banyak berada di rumah. 

Ya..., Mona memang tak begitu dekat ibunya. Apalagi sejak kematian ayahnya yang memilukan. Sebuah ledakan kompor yang menggenaskan. Kadangkala Mona membenci ibunya sendiri. Bagi Mona ibu adalah penyebab kematian ayahnya. Sejak kematian ayahnya, Mona dan adik-adiknya dboyong sang Ibu ke Kota Bandung. Meski telah berpindah ke kota yag jauh, tetap saja Mona tak berpisah dengan pesan-pesan ayahnya. Seperti yang pernah dikatakannya, itulah alasan kenapa Mona menyebut sag ayah dengan sebutan "Anginku". Sebab angin selalu ada, kemanapun dan dimanapun Mona berada.  Ah, betapa janggal, desisnya..

Tepat setelah kata-kata itu menghujam di benaknya, ia telah berada di pintu muka pos jaga. Hari telah gelap. Tak ada  suara. Tak ada sesiapa. Hening saja. Ketika pintu ia ketuk, seorang laki-laki membuka pintu  dengan sebelah tangannya membawa sebuah lampu templok. Ia petugas pendamping dari Taman Nasional ini. Selain dia, hanya ada seorang peneliti mangrove. Seorang laki-laki dari perguruan tinggi disana  

Maka Mona...?, Dimanakah Mona ?, oh. Seketika ia melunglai. Pandangannya gelap. Iapun mendesis. Desisan yang lebih terdengar bak ratapan. Mona dimanakah dirimu...?  

Comments

  1. Sebelum ada yang berkomentar, "Aku gak tau Mona dimana", saya katakan ini cuma fiksi. Hihi,serangkaian fiksi untuk novel saya. Fiksi sejati kawan.

    Fiksi di ajang mnulis fiksi bersama kawan-kawan di bulan Januari 50.000 Kata (J50K) yang saya letakkan di label J50K 2012. Terimaaksih.

    ReplyDelete
  2. huuuuuuu,...penasaraaannnn !!

    teteh, dimana mona ? #padahal udh dilarang nanya :p

    saya penasaran :(

    ReplyDelete
  3. mona,hanya dalam imaji kaah??

    ibuuu happy nu year,maafkan saya jarang kesini hikzz maaf banget...
    semoga tahun ini membawa berkah bagi kita semua yah

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.