J50K, Mengikat Ending dan Konflik Dengan Sinopsis

Lihatlah bakau dan pedada. Meski beda mereka saling menyapa. Saling bergandengan tangan ketika dedaunnya dihembuskan angin itu. Akarnyapun bercengkrama dalam satu belitan di lumpur pantai itu. Sebab angin menyatukan mereka. Sebab lumpur membuat mereka bertemu di tepian pantai itu. Maka apakah beda itu masih miliki maknanya ..? (Kunang-kunang di Sembilang)

Sungguh, pengalaman mengikuti ajang J50K kali ini agak berbeda. Berbeda dari tahun sebelumnya. Tentu saja beda sebab ini berupa Novel. Sedang dulu bebas. Kebetulan saya memilih membuat kumpulan prosa dan puisi yang pengerjaannya cukup fleksibel. Selesai satu, jeda dulu lalu baru bikin cerita baru. Sedang membuat naskah novel, agak lain rupanya. Maklum, ini pengalaman pertama. Buat saya, ini mendebarkan. Juga mengesankan.

Baru sekali ini saya sangat serius menyelesaikan naskah novel. Biasanya saya mentok di bab 2. Selesai bab 2, saya tangguhkan lalu saya kehilangan selera untuk melanjutkannya. Kali ini saya belajar banyak. Meski teori tentang membuat naskah novel sudah banyak saya baca (sinopsis, plot, konflik, dan lain sebagainya) tetap saja praktek langsung itu lebih afdol.

Ya, setelah berkutat membuat naskah novel ini barulah saya paham. Saya telah salah besar. Membuat novel itu ternyata tidak gampang. Tapi juga tidak sulit asal dilakukan dengan penuh semangat dan keseriusan yang tinggi. Ini pengalaman berharga bagi saya. Belajar dengan langsung melakukan. Learning by doing. Pas buat saya. Terimakasih pada teman-teman Kampung Fiksi yang telah menggagas ajang J50K ini.

Menulis naskah novel sebanyak 50.000 kata ini juga penuh greget. Tepat ketika saya tiba di kilometer ke 4, tiba-tiba saya mendengar salah satu tokoh ingin endingnya dibuat seperti ini. Sementara, tokoh lain menginginkan ending dibuat dengan gaya yang lain lagi,

"Jangan dibuat begitulah. Aku jadi konyol banget kalau gitu", kata tokoh tersebut kira-kira.

Seandainya para tokoh dalam naskah novel saya bisa bicara. 

Oh, sinopsis itu rupanya sangat perlu. Saya kira sinopsis bisa saya simpan saja di kepala. He, rupanya tidak. Bahkan setelah dituliskanpun, masih saja ada konflik yang bisa membuat ending berlari kesana-kemari. Butuh sinopsis yang tegas walau kompromi masih bisa dilakukan disana-sini. 

Saat mencapai kilometer ke 6, terjadi konflik mengenai konflik. Katanya konflik itu bumbu agar novel menarik. Mungkin benar. Buat saya, rasanya konflik itu lebih menggambarkan perdebatan bathin para tokohnya. Juga mengambarkan teknik protes dan pesan moral yang ingin dituangkan penulis. Rasanya ini muncul begitu saja. Saat saya sedang mandi, sedang sibuk dengan pekerjaan di kantor, dia muncul dan berkata ini-itu. Oh, konflik ini akhirnya harus saya selaraskan lagi dengan sinopsis. Atau, sinopsis yang menyelaraskan dengan konflik. Beuhhhhh.

Saat ini saya baru berada di kilomter 10 (lebih sedikit) kawan. Rupanya mengolah konflik dan ending tiap bab ini cukup seru juga. Bagaimana dia tetap mengarah dan selaras dengan ending di akhir cerita tapi tidak langsung diumbar dan tetap mengalir. Tidak bisa tidak, harus saya buat agak menggantung tapi ada pesan di setiap bab.

Begitulah kira-kira. Insya Allah libur hari  Sabtu dan Minggu ini bisa saya gunakan untuk berkonsentrasi meneruskan naskah novel saya, Kunang-kunang di Sembilang. Mohon doa restu. Salam. 

Comments

  1. iya mbak linda juga baru kali ini praktek bikin novel dan susah susah gampang hahahahha

    ReplyDelete
  2. dear mba ku,...

    Novel ? wahhh,,,hebat, sudah terbayang keindahan kata-kata yg akan mba suguhkan di novel itu.

    happy weekend mba, selamat berkonsentrsi dgn novelnya ya mba :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.