Enggan.....

Betapa enggan menuruni bukit yang sudah kudaki. Betapa sulit menghapus jejak yang sudah kutoreh di sebatang pohon disana. Sebab hari telah gelap. Sebatang pohon itu sudah tak lagi kukenali. Hanya sebuah keasingan saat kulihat dia dari tempatku berdiri.

Maka bagaimanakah harus kuhapus jejakku disana ? Tak ada jawaban melainkan angin yang tiupan seperti mengejek.  Ini bukit asing juga sepi. Salahmu sendiri, mengapa meninggalkan jejak namamu di sebatang pohon di kaki bukit itu.... 

Oh, enggan ini makin menjadi-jadi. Bukan, bukan enggan memberi senyum pada angin yang seperti mengejekku itu. Ini enggan yang lain. Enggan tuk mengingat betapa sumringahnya senyum telah kuberikan pada angin itu saat ia membuaiku. Tepat ketika kutorehkan namaku di pohon itu.

Maka taukah kau arti enggan ini ? kukira kau tak tau. Ini jauh lebih sulit dibandingkan jengah ataupun malu. Sebab inilah sesalku. Rasa sesal untuk mengingat senyumku sendiri. Pohon itu...., tak hanya berduri. Ia pohon yang beracun hingga lenganku membiru.

Adakah yang bisa memberikan penawar racun itu...???    


(Kisah yang ditemukan ilalang, ketika sore tiba di sebuah bukit yang sepi juga asing)

Comments

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.