Rindu Tungku Pada Kayu Bakar

Lebaran sebentar lagi tiba. Padanya, tiba juga segumpal ingatan tentang lebaran di masa kecil. Seperti kerinduan pada jejak seorang gadis kecil yang membakar memori lama. Bak kerinduan tungku pada kayu bakar.


Dia membungkuk menatap tungku. Tungku yang segera menyambar kayu bakar yang disorongkan padanya. Di atasnya sebuah belanga menggelegak. Gadis kecil itu sigap menambah kayu bakar jika dilihatnya api tungku melemah. He, meski ia tak bisa, ia besikeras menjaga api tungku itu tak menghentikan nyalanya. Sebab di dalam belanga, ada puluhan ketupat sedang menggelegak. Suara desis gelegaknya bak sebuah janji di telinga anak kecil itu. Janji bahwa sebentar lagi ketupat-ketupatnya jadi dan siap dihidangkan esok harinya, Hari Idul Fitri.

Ia menangangkat kepala, lalu menyadari bahwa kerinduanya pada nyala tungku belanga ketupat adalah musykil. Sebab telah lama tungku memendam kerinduan pada kayu bakarnya. Telah lama tungku dan kayu bakar tersingkirkan di rumahnya. Teknologi telah menyingkirkan keduanya. Cukup menggunakan panci presto. Hanya butuh waktu setengah jam, ketupatpun jadi. Atau tinggal beli jadi, entah dari tukang sate atau tukang lontong dari pasar dekat rumah. Oh, sesunguhnya, rindu tungku pada kayu bakarnya adalah sebuah ingatan. Ingatan bahwa telah berapa tahun  Ibunya tiada. Sebab hanya ibunya yang bersikeras memasak ketupat menggunakan tungku dan kayu bakar. Maka kerinduan pada tungku dan kayu bakar ini, adalah juga rindunya pada sang Ibu.

Begitulah. Masih saya ingat rona muka si gadis kecil ketika ia bersikeras menjaga nyala kayu bakar di tungkunya. Wajahnya berpeluh. Rambut kucir kudanya tak lagi berbentuk. Tetap saja, di matanya ada semangat yang menyala. Semangat itu kini membakar memori lamanya. Hari ini, hari ketiga menjelang Idul Fitri tiba, kerinduan itu tiba. Kerinduannya pada suasana lama belanga dan ketupat. Kerinduan kecil si gadis kecil yang seperti memanggil-manggil. Seperti rindu tungku pada kayu bakar.

Comments

  1. Ini mengingatkan saya pada saat kecil juga, mencari ranting-ranting kering, menjemur daun-daun untuk tungku. Sungguh nasi dari tungku terasa nikmat..dan air putih dari kendi tanah liat terasa menyejukkan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.