
Seorang musafir yang lelah tengah menatap dirinya dengan cermin. Wajah lelahnya terlihat aneh. Kemudian dia miringkan cermin untuk memandang ha;l-hal di samping kanan dan kirinya, juga terlihat aneh. Cermin disorongkan kebelakang, benda-benda di belakangnya itu juga terlihataneh. Segalanya jadi aneh. Si musafir lalu mendesis menjauhkan cerminnya.
Gerangan apa yang terjadi pada semesta ini sehingga semuanya terlihat aneh ? tanyanya sambil kembali mendesis. Apakah Tuhan marah ? Apakah para pendosa sudah sedemikian mabuknya sehingga semesta ini menjadi aneh ? tanyanya lagi. Tentu saja tidak ada jawaban. Si musafir yang tengah sendiri itu lalu membaringkan tubuhnya.
Tiba-tiba saat ia membaringkan tubuhnya itu, kaki kanannya merasakan sebuah kesakitan pada kulit kakinya. Apakah gerangan ? desisnya lagi. Oh.....cerminku retak, teriaknya. Ya, cerminnya retak. Sesuatu yang baru ia sadari saat kulit kakinya merasakan goresan. Mungkin hentakkan kakinya tadi telah membuat sang cermin retak. Retak parah.
Cermin retak itu ia pandangi begitu rupa. Seksama dan berlama-lama. Hm....mungkin retaknnya sudah lama, dan ia baru menyadari. Barulah ia memahami mengapa segalanya terlihat aneh tadi. Cermin retak, tentu tak bisa lagi digunakan memandang sesuatu dengan jernih. Sedangkan berdebu saja akan membuat pandangan cermin menjadi kabur, apalagi bila ia sudah retak.
Rabb, betapa bodohnya diriku yang renta ini, ucapnya tergugu. Sang Angin selatan di samping kanan cuma meniupkan sepoinya pada musafir tua itu. Bila jiwa adalah sebuah cermin, manakah bisa kau pandang semesta ini dengan jernih jika cerminmu retak. Untuk memandang dirimu sendiripun tak akan bisa. Begitulah bisikkan Sang Angin Selatan.
Haripun semakin merangkap hingga semburat jingga di ufuk mulai terlihat. Sang musafir tua sibuk memperbaiki cerminnya. Apakah masih bisa...? desisnya lagi. Entahlah sobat, sang Angin Selatan menjawab tanpa diminta.
Gerangan apa yang terjadi pada semesta ini sehingga semuanya terlihat aneh ? tanyanya sambil kembali mendesis. Apakah Tuhan marah ? Apakah para pendosa sudah sedemikian mabuknya sehingga semesta ini menjadi aneh ? tanyanya lagi. Tentu saja tidak ada jawaban. Si musafir yang tengah sendiri itu lalu membaringkan tubuhnya.
Tiba-tiba saat ia membaringkan tubuhnya itu, kaki kanannya merasakan sebuah kesakitan pada kulit kakinya. Apakah gerangan ? desisnya lagi. Oh.....cerminku retak, teriaknya. Ya, cerminnya retak. Sesuatu yang baru ia sadari saat kulit kakinya merasakan goresan. Mungkin hentakkan kakinya tadi telah membuat sang cermin retak. Retak parah.
Cermin retak itu ia pandangi begitu rupa. Seksama dan berlama-lama. Hm....mungkin retaknnya sudah lama, dan ia baru menyadari. Barulah ia memahami mengapa segalanya terlihat aneh tadi. Cermin retak, tentu tak bisa lagi digunakan memandang sesuatu dengan jernih. Sedangkan berdebu saja akan membuat pandangan cermin menjadi kabur, apalagi bila ia sudah retak.
Rabb, betapa bodohnya diriku yang renta ini, ucapnya tergugu. Sang Angin selatan di samping kanan cuma meniupkan sepoinya pada musafir tua itu. Bila jiwa adalah sebuah cermin, manakah bisa kau pandang semesta ini dengan jernih jika cerminmu retak. Untuk memandang dirimu sendiripun tak akan bisa. Begitulah bisikkan Sang Angin Selatan.
Haripun semakin merangkap hingga semburat jingga di ufuk mulai terlihat. Sang musafir tua sibuk memperbaiki cerminnya. Apakah masih bisa...? desisnya lagi. Entahlah sobat, sang Angin Selatan menjawab tanpa diminta.
Gambar diambil dari sini
pertamax....
ReplyDeleterenungan yang bagus...
nice post
keduaaax bagus banget
ReplyDeleteketigaxxx tukeran link mbak
ReplyDeleteRefleksi yang tidak seluruhnya terlambat bagi sang musafir. Cermin retak ternyata dapat menyadarkannya tentang sesuatu yang harus dikaji lebih dulu sedalam-dalamnya sebelum melangkah lebih jauh.
ReplyDeleteRenungan mantap, seperti biasa.
Cermin jiwa adalah hati
ReplyDeleteIa yg menerima dan "mengembalikan" apapun yg ada di hadapnya. Mudah2an kita senantiasa diberi kekuatan utk dapat melap cermin kita dari setiap hati dan kotoran...nice post mba
Dalem sekali mba..salut!!
ReplyDeletePerkataan yang buat hati yang beku bisa menjadi cair apa bila membaca ini..
ReplyDeleteThanks ya Mbak,, saya jadi merasa ingin merenungi kslahan saya pda tahun 2009 lalu,,
Mohon berikan sdkit pendapatnya buat pnampilan baru Laksamana..
Thans
cermin retak tapi bukan berarti jiwa yg retak ya. tentu saja bisa tapi lbih sulit wkt melihat dari cermin yg retak.
ReplyDeleteCermin jiwa harus selalu dirawat dengan selalu mengingat-NYA agar kejernihannya selalu bersinar.
ReplyDeleteRefleksi yg mencerahkan mba.
WADUH......KOK DALEM N SEMAKIN DALEM AJA TULISAN IBU ELLY INI.......SAYA SAMPE BACA DUA KALI...N BERFIKIR KERAS......MENCOBA MELIHAT MAKNA YANG TERSEMBUNYI DARI SI CERMIN RETAK INI......
ReplyDeleteKetika retak..apakah masih bisa?
ReplyDeleteKita hanya bersujud dan berharap
Keagungan-Nya lah yang berkuasa mewujudkan
Namun kita percaya cinta-Nya
mantap bgt mbak perumpamaannya. :D
ReplyDelete@all (BaS, Elyas, Ivan, Insanitis37, Fortuna, Laksamana Embun, Sang Cerpenis, Latifah, Aditya, Hendriawanz, Andie, semuanya) terimakasih komentarnya. Ya, bila hati adalah cermin jiwa, maka setiap diri haruslah selalu membersihkan cerminnya agar bisa memandang dirinya dan dunia luar dengan jernih.
ReplyDeleteSepakat, agar tak mudah retak : cermin hati, cermin jiwa, cermin diri harus selalu dirawat dan dibersihkan agar tak penuh debu dosa, sehingga kita selalu dapat memandang segala sesuatu dengan jernih dan arif. Sebuah oencerahan yang mantap, mbak Elly
ReplyDeleteHati adalah pusat kehendak yang bisa bikin manusia tertawa dan menangis, sedih dan gembira, suka ria atau berputus asa. hanya hati yang bisa berkiblat kepada Tuhan untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan tentang apa yang kita inginkan dan jalan mana yang harus kita ambil.
ReplyDeletebila hati kita kotor, bisakah kita memperoleh kejernihan ttg jalan hidup kita?..
yup, jendela jiwa atau cermin jiwa ini haruslah selalu bening dan bersih.
*apa kabar, mbak...?
@Annie, mantap mbak
ReplyDelete@Tisti, siiip, begitulah mbak. Alhamdulillah, kabar saya baik. Lama gak keliatan mbak Tisti, apa kabarnya juga neh ?
jadi ingat judul bukunya Agatha Christie, mbak. Semoga setelah sadar, segera beli cermin baru deh, yg ga retak...
ReplyDeletenice artickel bunda
ReplyDeletenice artickel bunda
ReplyDelete@Fanda, iya seperti judul salah satu seri Agatha Christie ya. Siip, mbak.
ReplyDelete@jha, terimakasih
@Jadikan tahun ini lebih baik, ya thanks sobat.
jika "cerminku" mulai berdebu dan retak, semoga aku akan segera menyadarinya tanpa menunggunya melukaiku, :).
ReplyDeletenice post bund :)
begitulah dunia semakin tua dengan segala bagiannya yang mulai rusak dan terutama mental para penghuninya
ReplyDeletekok aku gag ngerti ya..hehe..baca ulang2...
ReplyDeleteduhh apalagi sutris ya aku gag bisa mikir...
hmmm...dalam sekali bahasa mu mbak..
ReplyDeletesaya baca dari awal sampai akhir...
salam kenal
selamat tahun baru ya mba....
ReplyDeleteSemoga saja cermin Sang Musafir bisa diperbaiki,
ReplyDeletesaya seperti sang musafir. cermin telah retak ditengah perjalan. Apakah masih bisa cermin itu diperbaiki? pertanyaan yang sama tiba-tiba muncul di benak.....
ReplyDeleteBener mbak.., jika cermin retak yg kita gunakan, kita tak akan mampu memandang suatu masalah dengan jernih dan jelas.
ReplyDeleteNice post..!
cermin retak tak bisa dipakai lagi, bisakah diganti cermin yang tak retak lagi, diperbaiki pun tetaplah cacat....
ReplyDelete@Inuel, mantap nuel
ReplyDelete@Munir Ardi, ya begitulah sobat
@Dycky, hehehe, ya jangan dipaksa sist.
@Bery Devanda, thanks sobat. Salam kenal juga
@Ninneta, selamat Tahun Baru Juga nin
@Stiawan, semoga saja
@Yans, he, barangkali harus ganti cermin baru
@Reni, siip. Thanks mbak Reni
@Buwel, mungkin harus ganti cermin baru, buang yang retak. Lalu mengelanalah dengan cermin jiwa/hati yang baru.
sy coba memahami apa arti dibalik tulisan mba elly kali ini ... mungkin dalam persepsi saya hati itulah cermin yang dimaksud, ketika hati terkotori dengan nafsu dan prasangka mungkin segala yg nampak di mata menjadi gelap dan pekat...
ReplyDeleteBisa koq diperbaiki, tapi jangan harap hasil pantulannya akan sempurna seperti sedia kala...
ReplyDelete'cermin' siapa yg nggak retak? rasanya ngga mungkin ada ya kecuali cermin hatinya anak2 yg masih suci :)
ReplyDelete@Rosi, ya bisa jadi seperti itu sobat
ReplyDelete@Kang Sugeng, kalau sudah kabur pantulannya mungkin kita tidak bisa lagi mmeandang sesuatu dengan jernih
@de asmara, siiip sobat. Karena itulah kita seyogyanya selalu harus mengevaluasi cermin kita, sudah berdebukah, retakkah...!?. Apakah akan kita biarkan cermin kita retak tanpa menggantinya (memperbaharui/mencharge jiwa/hati kita) tergantung diri kita masing-masing.
Cermin retak. mbak Elly, selalu mengungkapkan filosofi yang bagus banget
ReplyDeleteungkapannya selalu pujangga. salut mbak.
ReplyDeleteBahasa sastra keren Mbak. Keren sekali. Sumpah!!!
ReplyDeleteHe heh...
Ibarat membawa hati yang retak. Kemanapun, akan menjadi nestapa hidup.
ReplyDeletecatatan yg sedikit membuatku merenung mba ? apakah sesuatu yg sudah retak memang tidak akan bisa pulih kembali ????
ReplyDelete@Itik Bali, ya tik begitulah sebuah cermin kita
ReplyDelete@Travel, terimakasih sobat
@Diar, thanks Diar
@Anazkia, krnnya hrs kita evaluasi
@SeNja, tergantung bagaimana kita menyikapinya mba. Mungkin dengan mencharge ulang jiwa kita (setelah taubatan nasuha, dsb) cermin kita akan menjadi baru lagi, seperti lahir kembali. Mari kita analisa.
artikelnya bagus nih...
ReplyDeletebagus artikelnya
ReplyDeleteartikel yang bagus
ReplyDelete