Ruang-ruang Mengerang Panjang

Ruang (terbuka) Yang Dikhayalkan Seseorang

Ruang dan waktu sebuah kota, pada suatu ketika. Segalanya tampak seperti erangan. Jalanan penuh sesak. Macet panjang. Suara klakson hingar bingar bercampur debu. Dalam kemacetan itu, segerombolan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, menyerbu jalanan, menengadah meminta-minta pada mobil dan kendaraan lain yang terjebak dalam kemacetan. Seorang yang sedang tergesa hendak mengikuti acara, maha penting katanya, menyumpah-nyumpah dalam mobilnya.

Sebelumnya orang itu melewati sudut lain kota itu. Sudut pinggiran kota dimana gubuk reyot muncul, berserakan sangat tidak rapi. Ada bayi dalam salah satu gubuk reyot itu, menangis mita ASI. Bayi hanya ditemani sang nenek, yang tentu saja ASInya sudah mengering. Ibu si bayi sedang berkeliaran ke kota, membawa list sumbangan pembangunan sebuah mesjid. Bapak si bayi, entah berada dimana. Sementara di salah satu kamar hotel, seorang laki-laki pegawai tata kota itu sedang bercumbu dengan perempuan yang bukan istrinya. Saya menemui pak Wibowo sebentar, begitu pesan si lelaki pada sekretarisnya ketika meninggalkan ruangan kerja dengan meja penuh map berserakan.

Di sebuah ruangan penuh sesak, seseorang yang menyumpah-nyumpah di mobil tadi akhirnya tiba juga. Ia terlihat begitu lelah. Ia terpekur panjang. Dalam keterpekurannya tiba-tiba mucul bayangan hijau, luas, teduh dan menenangkan. Bayangan itu cukup membantunya. Oksigen di kepalanya kini kembali terisi. Ia merindukan ruang luas tempat bercengkerama ceria seperti dulu. Saya merindukan lapangan luas hijau dimana dulu saya bermain kasti, dan lompat tali itu, lirihnya sambil tersenyum tipis. Ya ruangan hijau terbuka yang kini susah didapat di kota itu. Tak lama setelah itu ia mengangkat kepala. Acara yang katanya maha penting tadi sudah dimulai sejak satu jam yang lalu.

Begitulah. Orang yang terpekur (juga sebelumnya menyumpah-nyumpah dalam mobil) itu, dan orang-orang lainnya tadi adalah pengisi ruang yang bernama kota itu. Mereka semua berada dalam ruang entah terbuka atau tertutup. Dan ruangan besar bernama kota itu, seharusnya menjadi tempat mereka berbagi. Kau ada di hati saya wahai insan, adakah saya ada dalam hatimu...? Bila aku ditata dengan baik, kesemrawutan itu mungkin tidak akan terjadi. Begitu erangan lirih sang ruang. Dan sayangnya para insan penghuni ruang kota itu belum bisa berbagi ruang dengan baik dan indah. Penataan ruang belum dilakukan dengan baik. Kisah semrawut itu terus terjadi. Ruang-ruang itu terus mengerang panjang.


Comments

  1. waduh ceritanya keknya dalem banget neh, yang pentinng koment dulu, ntar kalo sempet kesini lagi untuk memahaminya...hehehehehe

    ReplyDelete
  2. sang ruang ada kok mbak dalam hatiku :)
    aku bingung komen apa, tp aku tau mksudnya..

    ReplyDelete
  3. andaikan ruangan didalam hatiku sehijau dan seteduh taman nan asri .... keep writing ya mba...

    ReplyDelete
  4. Waduh, sebenernya tulisannya bernewsoul banget neh...tapi kok ya aku nggak nyampe maksudnya ya mbak...sementara ini dulu wes....
    ceritanya tentang kerinduan seseorang pada bumi yang penuh damai dan ber manusiawi ya mbak...

    ReplyDelete
  5. sist..lagi gak mudeng...otak lagi ga fresh.. ga tauk kenapa... bener2 ga nyambung otak kiri dan kananku... blank total

    ReplyDelete
  6. Mbak Elly, setuju aje ama Buwel tuh... tulisan mbak Elly sering mengecoh pembaca. Tak sedikit membuat kerut kening dan harus membacanya berulang-ulang :)

    ReplyDelete
  7. ruang yg difoto itu asyik banget...

    ReplyDelete
  8. @all, terimakasih komentarnya. Ternyata baru ditinggal sebentar,sudah banyak yang berkomentar. Ya kisah di atas memang semrawut, sabar dan jeli saja membacanya. Sengaja, supaya kita sama-sama berpikir dulu.

    ReplyDelete
  9. Ehm, pengunjung bru nieh. Semoga d terima kehadiran ku !! Bc lg ahh postinganx. Ingin mendalami lg.

    ReplyDelete
  10. iya nih mba..bacanya harus merenung dulu baru ngerti... dikit :)

    keruwetan kota dengan hiruk pikuknya...dan kadang manusia lupa menikmati hidup saking sibuk dengan tuntutan hidup...

    kadang merindukan hal2 kecil sederhana yang pernah dilakukan..

    gitu ya mba hehehe

    ReplyDelete
  11. Setuju sama para komentator sebelumnya,,, hehehe,,,,

    ReplyDelete
  12. ini mengenai tata kota yg tak teratur ya?

    ReplyDelete
  13. dalem banget mbak..sampe harus baca berkali-kali neh.... penuh arti banget..

    ReplyDelete
  14. ya udah jadi sifat manusia kali mbak, yang serakah... pengen lebih ini, pengen itu...gak sadar kalo perbuatannya malah merusak. bumi ini udah kehilangan keperawannanya, demi ambisi manusia, gak ada yang alami... bawaannya gatel aja kalo masih belum terjamah.... ya karena itu nilai ekonomisnya tadi. lebih miris lagi kita gak punya film dokumenter tentang alam sendiri seperti hijaunya borneo... eh malah punya australia - jadi kalo kita pengen liat borneo ya harus..........

    ReplyDelete
  15. @all, sekali lagi terimakasih komentarnya. Ya memang tentang penataan ruang (kota, bahkan bumi ini) yang semrawut. Eden, juga semua, terimakasih atas komentar yang mantap ini. Saya baru nyampe rumah, hah, capek......

    ReplyDelete
  16. ibuk saya masih bingung ni,,
    tulisannya yang banyak menggunakan kata sembunyi" ato akunya yang dudutz yah,,

    ReplyDelete
  17. sebenernya gak juga klo postingan ini dibilang susah dipahami,....kadang hanya perasaan malaslah yg menjadi alasannya.

    kadang ada seseorang yg membaca, cukup intinya saja atau biasanya disebut ide paragraf untuk tahu isi dan maksud tulisan itu.bahkah tau persis point off view,alur,gaya bahasa,penokohan serta unsur2 instrinsik lainnya.

    tapi yang lebih penting bacalah dengan hati....karena kita akan lebih mudah faham dan mengerti.

    postingan yang bagus buda.ma'af postingan sebelumnya saya gak berani kasih koment.... masih belum pantas.masih labil untuk faham tentang itu

    ReplyDelete
  18. Semrawut? wah...ruwet deh! Aku sebenarnya cinta negeri kita ini, cuma ya itu klo liat ruwetnya, rasanya pengen kabur ke Singapore aja. Sayang ga ada yg nawarin!! Tp berhub aku mmg hidup disini, yah..jalani aja apa adanya. Toh sewaktu-waktu kita bs refreshing bentar ke tempat2 sepi tuk me-recharge bateri kita.
    Postingan yg bagus mbak, aku perhatiin style jd bergeser dikit dr awal ya? Apa memang buat variasi?

    ReplyDelete
  19. @inuel, hehe, oh ya, thanks deh
    @Ahmad F, siip, bukan postingannya yg bagus, yang baca bagus, baca dr hati...
    @Fanda, thanks. Style bergeser ya ? Sedikit variasi sesekali gpp toh.

    ReplyDelete
  20. saya sudah cukup lihai menata kamar saya, mungkin bisa membantu menyusun konsep tata ruang kota, kayaknya ga jauh-jauh amat ma tata kamar saya.... ho...ho...

    thanks for coming....

    very nice article, i like it... see u later...

    ReplyDelete
  21. @Perry, siip. Itulah awal yang baik. Gak jauh-jauh amat kok.

    ReplyDelete
  22. Hmm... hmm... saya sangat menikmati tulisan ini. Kadang ketika saya melewati daerah2 tertentu yang sering saya lewati namun tidak saya kenal, saya merasakan sebuah kesunyian, seperti itu adalah kamar kosong tanpa nama, bukan karena tidak ada isinya, namun karena saya tak mengenalnya, saya memandangi rumah2 dan orang2 yang lewat, wajah-wajah tanpa nama, dan tak memiliki cerita, padahal mereka punya nama dan punya kisah, hanya saya yg tak tahu..

    Haha.. kalau bagi mbak ruang2 mengerang panjang, bagi saya banyak ruang kosong tanpa gema di suatu ketika, hanya kelebatan cahaya lampu2 malam saja.

    Terimakasih, tulisan ini indah sekali.

    ReplyDelete
  23. @Zumairi, terimakasih
    @G, menarik apa yang ditulis di atas tadi. Hebat, two thumbs deh. Ya, bg sy ruang2 itu mengerang panjang, kalau sj mrk bs mengerang, karena kita manusia tidak menatanya dengan baik. Kita tidak memperhatikannya.

    ReplyDelete
  24. Aku menangkap suatu ruang yang semnrawut, tidak tertata dan para penghuninya yang tidak peduli sehingga semakin ruwet semuanya.
    Benarkah...? Mungkin kotaku juga mulai mengerang tapi.... cuma sesekali dan hanya erangan yang pendek saja ^_^

    ReplyDelete
  25. ruang yang sesak tapi tetap saja masih dianggap seperti lapang. Karena dalam sesak masih ada harapan untuk hidup, dan bahkan dalam kelengangan ternyata tak mendapatkan sesuatu untuk hidup...

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.