Para-para Paya dan Pedada

Aku tidur di para-para paya. Serupa rawa yang airnya menggenang. Seperti mengingat ibunda yang telah berpulang. Kupandang langit, tak ada bulan. Entah ini bukan tanggal dimana dia memunculkan dirinya. Atau karena awan sedang menyembunyikannya. Entah. Tak kupunya jawaban.


Tubuhku lelah. Susah payah kubuang lelah. Ia tak mau pergi. Kukira, bukan karena ia ta mau pergi. Sebab aku tak mau melepas payah. Payah. Payah. Payah. Payah yang kusimpan ke saku baju lalu kukeluarkan saat malam gelap. Lelap  melenakan. Disitulah rasa lega muncul dengan nyata. Payah itu sirna dengan senyatanya. Lega.

Kau kira mudah meredam payah? Kukira takkan kau tau hingga payah itu menderamu dan kau melepasnya saat pagi datang. Begitulah. Kuharap pagi aku terjaga. Mata yang terbuka. Memejam lagi. Menunggu syaraf-syaraf terjaga. Terbuka, Betapa nikmat terjaga ketika raga-raga payah. Di sekelilingku para-para paya itu mengembunkan dirinya. Kabut menyambut di rawa. Pohon-pohon pedada melambai. 

Sembilang yang kan menjelang..

Comments

Post a Comment

Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.