Perempuan Yang Memetik Mawar, Simbol Pergulatan Batin Perempuan
Sudah lama saya menerima buku, berbentuk Novel berjudul “Perempuan Yang Memetik Mawar”. Sebab berteman di Facebook dengan penulisnya, yang saat itu sedang mempromosikan buku tersebut, ya saya pesan. Maka, seperti dugaan, betul saja, buku itu lama menumpuk di rak buku, berteman dengan beberapa puluh buku lain yang belum sempat terbaca, ah. Saya menghabiskan waktu sehari, sehari sebelum hadir dia acara Bedah Novel tersebut untuk membaca buku tersebut.
Bagi saya pribadi pengkotakkan Sastrawan Perempuan, Laki-laki
itu tidak begitu penting. Hal yang lebih penting adalah kualitas tulisan,
Perempuan dan laki-laki punya kesempatan dan kans yang sama untuk menulis dan
punya kesempatan yang sama untuk diakui jika memang tulisannya bagus. Jika
sebuah karya bagus akan saya bilang bagus, tidak perduli dia laki-laki atau
perempuan.
Tetapi, ketika Perempuan memang sangat langka menulis, dalam
hal ini sastra, ya saya setuju saja ketika ada pelabelan “Sastrawan Perempuan”,
untuk memberi motivasi perempuan agar semangat menulis karya sastra. Dan memang benar Sastrawan Perempuan di
Palembang, Sumatera Selatan itu sangat sedikit, bahkan cenderung langka.
Bedah Novel Perempuan yang Memetik Mawar dipandu oleh
moderator dari Sriwijaya Post, Sdinah Trisman. Selanjutnya, dibedah oleh beberapa
kampiun sastra nih. Ada Ibu Ken Zuraida (Teatrikal, istri alm.WS. Rendra). Ada Dian
Susilastri (Akademisi, tepatnya Peneliti Bidang sastra, Lembaga Bahasa Sumatera
Selatan). Ada Syamsul Fajri (penulis, sastrawan Sumatera Selatan). Hal yang membuat saya terpana, para hadirin
serius sekali memberi masukkan. Wah hebat nih rupanya acara bedah novel
tersebut dihadiri juga oleh para sastrawan dan para penikmat satra dari
Palembang. Ada seorang yang memberi tanggapan kepada Penulis agar penulis lebih
menguatkan isu terkait Hilir Musi yang dikaitkan dengan Kerajaan Sriwijaya dan ada juga yang menyarankan penulis untuk belajar mengangkat isu perempuan dan kelokalan dari
Arundhati Roy (penulis perempuan dari India), Gabriel Garcia Marquez (Pemenang
Nobel dari Kolumbia).
Isu Perempuan dengan
Diksi Lokal
Isu Perempuan itu memang seksi. Seksi dan dianggap isu
universal sebab hampir sebagian besar Perempuan di negara dunia Ketiga
mengalami ketidakadilan gender. Perempuan dengan segala permasalahan di
dalamnya (ketidakadilan gender, polygami dll). Hal ini diangkat secara mendalam
oleh Penulis, Dahlia Rasyad. Meminjam istilah Pak Syamsul Fajri, Dahlia
mengangkat Hermeneutika Global dalam
Semiotika lokal. Isu yang diangkat adalah isu global (Bu Dian Susilastri
lebih suka menyebutnya isu Universal) yang dibalut dengan diksi penceritaan yang khas lokal di Sumatera
Selatan. Lokasi di Pelosok Sumatera Selatan, Desa Betih (Betina), menyelusuri
Gunung Dempo. dll.
Narasi soal setting lokasi diceritakan dengan sangat kuat.
Bagaimana suasana desa tepi hutan. Bagaimana suasana rumah panggung tua tak
terurus dengan rayap dan telur rayap di beberapa sisi dinding dan lemari kayu.
Perahu Kajang (Perahu khas Sumatera Selatan, dahulu digunakan oleh penjelajah
tangguh sungai dan laut) yang melaju, kisah Antubanyu dan lain sebagainya.
Sauya yang sejak berumur 6 Tahun dititipkan ke neneknya, Nenek Mesiah. Bagaimana Sauya kecil mengurus nenek dan rumah tak terurus di tepi hutan hingga menjadi rumah cukup bersih. Sauya kecil yang dibesarkan dengan hikayat dan cerita ajaib Nenek Mesiah, sang ahli hikayat dan sejarah. Sauya kecil yang ibunya mengalami ketidakadilan gender, lalu dipoplygami. Sauya kecil yang merasakan bagaimana derita Nenek Mesiah akibat dipolygami oleh sang kakek. Sauya yang setelah dewasa juga mengalami polygami dan akhirnya menikah beberapa kali dan melanglang buana hingga ke London.
Sauya, perempuan yang mendapat karma sebab telah memetik Mawar Hitam dari habitat aslinya di hutan nun di kaki Gunung Dempo padahal sang Bunga terlarang untuk dipetik. Mawar hitam yang hitamnya tak lagi seperti semula, hitamnya memudar. Sauya yang diakhir cerita mencekik bayi laki-lakinya yang menurut para pembedah adalah simbol penolakan kepada dominansi dan ketidakadilan laki-laki, dan pola partiarkhi yang mengakar kuat di Sumatera Selatan.
Dahlia Rasyad dan Esistensi
Kepenulisan
Meski novel ini tak mampu saya lahap dengan penuh gairah
macam buku Ayu Utami atau Marianne Katoppo, atau Iwan Simatupang, sebab kemampuan
awam saya terbatas, Novel ini memenangkan penghargaan Karya Sastra Terbaik
Tahun 2014 dari Lembaga Bahasa Jogyakarta. Sebuah prestasi yang patut diacungi
jempol. Dahlia Rasyad, penulis muda yang masih terus akan berkarya dan
mengembangkan karyanya. Ini terkuat di sesi akhir ketika moderator diganti
secara spontan oleh salah seorang anak muda berkaos hitam yang sekaligus menjadi
panitia acara, Dahlia diberi kesempatan untuk bicara bagaimana dia mulai
menulis, bagaimana perjalanan Novel Perempuan Yang Memetik Mawar.
Satu hal yang menyentuh hati saya adalah, Dahlia mampu
menunjukkan prestasi dan semangatnya dan masih mengaku seorang Pembelajar. Bagaimana
Dahlia bercerita bahwa perlu keyakinan teguh untuk esksis di dunia kepenulisan,
terlebih sastra yang minim peminat. Karenanya Dahlia menghimbau agar Dunia
media cetak yang memiliki kolom sastra lebih menghargai karya penulis. Jika Kompas
sanggup membayar 1,5 juta per cerpen, saya harap koran lokal di Sumatera
Selatan bisa membayar 2 jutalah ujar Dahlia dan gerrrr ruangan riuh disambut
tepuk tangan hadirin.
Begitulah ulasan saya tentang Perempuan Yang Memetik Mawar.
Saya tidak bilang novel ini bagus atau tidak bagus. Sebab bagus atau tidak itu tergantung
selera dan tergantung persepsi dan kemampuan pembaca. Buat saya, kualitas karya
itu bagus atau tidak bukan karena halamannya banyak, misal karena 400 halaman
itu susah dibuat, atau karena mengangkat isu perempuan atau lokalitas. Bagus
itu sebab ia bagus. Untuk saya sebut bagus menurut saya cerita harus mengalir,
cerita perbab atau per kepingan harus kawin, istilah anak muda sekarang ngeblend dan ada plot yang menyatukan. Haiyah, omong apa ini. Jelas ini karena kemampuan
saya memahami terbatas. Ketika ada lembaga yang memberi pengahargaan sebagai
Karya Terbaik, ini bukti bahwa novel ini memang bagus karena sudah ada
pengakuan. Terakhir, Novel ini layak anda miliki dan anda baca.
Saya tutup tulisan ini dengan sedikit prolog Novel Perempuan
Yang Memetik Mawar,
Dunia ini tidaklah
nyata. Apa yang kita alami tidak dengan sesungguhnya kita alami. Semua yang ada
di dunia ini, yang terlihat oleh mata, teraba oleh jemari, yang terpikir oleh
akal, dan semua sedih bahagia yang kita rasakan, hanyalah sebatas mimpi. Maka jangan
kau ratapi atau kau sesali jika saja kenyataan tak pernah berjalan sesuai
keinginan.
Salam hangat. Salam Perempuan Yang Memetik Mawar.
Comments
Post a Comment
Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.