Aku suka. Terutama jika ia berupa bunga. Stephanot ungu yang kutunggu belum siap untuk munculkan bunga. Ia baru setinggi bocah dua tahun, merambatpun belum bisa. Tak kusangka, beberapa pagi yang lalu, aku temukan bunga liar warna ungu di halaman kosong sebelah rumah. Tepat beberapa jam setelah pagi menyingsing. Ketika sinar matahari pagi menimpanya, ia bersemu malu.
Warna ungu itu merona. Seolah merona ke wajahku. Jatuh ke retina mata hingga kurasakan sesuatu yang berpendar. Mungkin itu pendaran marah dan bahagia si bunga ungu. Marah dan bahagia yang menelusup ke dalam jantung dan menyatu disana. Entah apa namanya. Terasa hangat. Udara terasa bergetar.
Tak lama, bunga liar warna ungu yang tak kutau namanya itu seperti berkata,
"Datanglah padaku kapan saja kau mau.."
"Suatu pagi kelak, setelah habis sesapan secangkir kopimu..."
"Dan kopinya.."
Angin mendesir. Hening tak yang tak bening. Aku tersentak.
Ah, kukira bunga liar ungu itu hanya meracau. Mungkin juga suara-suara yang kudengar hanya nyanyian si bunga ilalang di kepalaku. Jika tidak, jemari siapakah yang akan kutuntun atau menuntunku pada bunga liar warna ungu setelah habis sesapan cangkir-cangkir kopi itu?
Jika kelak pagi itu tiba, jemarimukah yang kan kutuntun ke bunga liar warna ungu itu?
Comments
Post a Comment
Tulisan hasil kontemplasi. Mohon maaf, komentarmu perlu saya cerna dulu untuk menghindari riweh dan tidak spam. Terimakasih.